Minggu, 07 Agustus 2011

PENGENALAN SINGKAT TENTANG BAHASA BIMA ( NGGAHI MBOJO ) 1

PENDAHULUAN

Masyarakat Bima ( Dou Mbojo ) merupakan etnis kedua terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat sesudah etnis Sasak ( Lombok ) , dengan jumlah mendekati 750.000         ( tahun 2001 ). Menjadi penghuni atau penduduk di wilayah timur pulau Sumbawa  pada dua daerah kabupaten dan satu Kota yaitu kabupaten Bima , Kota Bima , dan kabupaten Dompu . Juga terdapat di Flores Barat kabupaten Manggarai ( NTT ) terutama di Reo , Pota dan Labuhan Bajo sebagai satu komunitas , termasuk di pulau Komodo .  Keberada-an komunitas masyarakat Bima ( Dou Mbojo ) di Flores ini tidak lain mengikuti perjalan-an sejarah karena sebelum kemerdekaan , daerah-daerah ini merupakan wilayah Kesul-tanan Bima sehingga terjadilah migrasi masyarakat Bima ( Dou Mbojo ) ke Flores Barat .
Etnis lainnya di provinsi Nusa Tenggara Barat di samping etnis Sasak ( Lombok ) dan etnis Bima ( Dou Mbojo ) adalah etnis Samawa ( Sumbawa ) yang menghuni bagian barat pulau Sumbawa pada dua kabupaten yaitu kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat , dengan luas geografis hampir separoh lebih pulau Sumbawa . Sedangkan etnis Sasak ( Lombok ) menghuni pulau Lombok . Tapi di kota Mataram sebagai ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat , tidak seluruhnya lagi dihuni etnis Sasak tetapi sudah heterogen . Ada etnis Bali , yang secara sejarah menguasai Sasak ( Lombok ) mulai pada awal abad 17. Juga ada etnis lainnya seperti Jawa , Bugis , Melayu dan lainnya , tetapi hanya merupakan kelompok-kelompok kecil yang menyebar dan membaur .
Dalam komunikasi sehari-hari , masyarakat etnis Bima ( Dou Mbojo ) menggunakan bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ). Istilah “ Bima “ dan “Mbojo “ dalam perbahasaan adalah istilah yang pemakaiannya agak unik . Keduanya merupakan istilah yang menunjuk pada satu makna identitas yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat etnis Bima     ( Dou Mbojo ) bersama segala aspek kehidupannya . Tetapi dalam fungsi penggunaannya , kedua istilah ini dipakai secara berbeda .
Istilah “ Bima “ lebih ditujukan pada komunikasi eksternal yaitu bila berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan masyarakat etnis non Bima ( masyarakat luar Bima ). Sedangkan istilah “ Mbojo “ dipakai untuk komunikasi internal sesama masyarakat Bima ( Dou Mbojo ) ketika bertutur menggunakan bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ). Misalnya , kalimat tulis atau kalimat tutur bahasa Indonesia : “ Saya orang Bima “ dan kalimat tulis atau kalimat tutur bahasa Bima : “ Nahu Dou Mbojo “ adalah dua kalimat yang searti . Tetapi menjadi sangat janggal bagi telinga orang Bima ( Dou Mbojo ) jika diucapkan : “ Saya orang Mbojo “ atau  “ Nahu Dou Bima “ sekalipun Bima adalah Mbojo .
Istilah “ Mbojo “ hanya bisa dipasangkan atau dirangkaikan bersama-sama kosa kata bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ) sendiri , tidak dengan  kosa kata bahasa Indonesia atau lainnya . Begitu pula dengan  istilah  “ Bima “ tidak bisa dipasangkan dengan kosa kata bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ) melainkan harus dengan kosa kata bahasa Indonesia atau lainnya . Dengan kata lain , dalam tutur bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ) , tidak pernah muncul istilah “ Bima “ melainkan hanya istilah “ Mbojo “ . Sebaliknya  ketika bertutur bahasa Indonesia , tidak akan pernah muncul istilah “ Mbojo “.
Tinjauan atas istilah “ Bima “ dan “ Mbojo “ ini ternyata menunjukkan beberapa pengertian dalam pemakaiannya . Pertama dari sisi sosiologis -anthropologis dipakai sebagai nama etnis bagi masyarakat komunitas penghuni daerah kabupaten Bima - Kota Bima dan kabupaten Dompu , khususnya lebih tegas untuk istilah “ Mbojo “ .  Kedua secara geografis politis , dipakai untuk menunjukkan wilayah kabupaten Bima dan Kota Bima , tidak termasuk kabupaten Dompu . Dan tidak pernah disebut “ Kabupaten Mbojo “ atau “ kota Mbojo “.  Dengan demikian , istilah “ Mbojo “ memiliki makna yang lebih luas karena tidak dipakai untuk pembatasan geografis politis .
Secara geografis , sebenarnya istilah “ Mbojo “ itu sendiri pada awalnya tidak meliputi seluruh kabupaten Bima ( termasuk Kotamadya Bima ) saat sekarang melainkan hanya meliputi wilayah yang sekarang dikenal  dengan  “ Kecamatan Rasana-e Barat “ dan inilah yang asli “ Kota Bima “ ( tidak termasuk  “ Raba “ yang sekarang masuk dalam wilayah  Kecamatan Rasana-e Timur  ) , sejalan dengan munculnya nama Bima . Jadi ada perluasan pemakaian istilah “ Mbojo “ dan “ Bima “ dari segi geografis politis . Tetapi meluas pemakaian untuk “ Bima “  terbatas hanya untuk seluruh wilayah kerajaan Bima    ( sekarang kabupaten Bima dan Kota Bima ) , tidak menyentuh kerajaan  Dompu. Sedangkan istilah “ Mbojo “ sejak awal sudah menunjukkan makna yang luas sebagai identitas etnis masyarakat di kedua kerajaan Bima dan kerajaan Dompu dan wilayah-wilayah lainnya bagian timur pulau Sumbawa .
Adanya pencampur-adukan pemakaian istilah “ Bima “ dan “ Mbojo “ pada aspek sosiologis-anthropologis dengan aspek geografis politis ini , lalu ada kecenderungan pada kelompok kecil masyarakat Mbojo penghuni daerah kabupaten Dompu , yang mencoba mengklaim istilah “ Dompu “ sebagai identitas diri secara etnis yaitu : ETNIK DOMPU , bukan dengan  “ ETNIK BIMA ( DOU MBOJO ) “ yang menggunakan istilah “ Mbojo “. Sampai-sampai bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ) pun yang dipakai diubah menjadi  “ Nggahi Dompu “ padahal secara budaya memang tidak ada terminologi  “ Nggahi Dompu “ . Ada juga yang merasakan kerancuan penggunaan istilah yang agak aneh tersebut , tetapi karena semangat regionalitas yang tinggi , tetap juga menyebut istilah “ Nggahi Dompu “ tetapi dilampiri dengan  “ Mbojo “ sehingga jadilah tertulis  “ Nggahi Dompu ( Mbojo ) “ tanpa menyadari bahwa sebutan “ Dompu “ hanya sebatas makna wilayah geografis, bukan etnis dan budaya seperti halnya “ Mbojo “.
Mungkin maksudnya semua itu untuk membedakan secara geografis politis agar tidak terkesan bahwa kabupaten Dompu dibawahi kabupaten Bima lantaran menggunakan istilah budaya “ Bima ( Mbojo ) “. Pikiran yang demikian , jelas tidak wajar dan berwawasan sempit  sebab melupakan bahwa sebutan “ Bima ( Mbojo ) “ tidak hanya digunakan untuk identitas geografis politis tetapi juga secara sosiologis anthropologis dengan segala aspek budayanya . Secara geografis politis memang kabupaten Dompu bukan bawahan kabupaten Bima atau Kota Bima . Begitu pula penduduk kabupaten Dompu tentu bukan penduduk kabupaten Bima atau penduduk Kota Bima . Tetapi penduduk Dompu seperti halnya penduduk kabupaten Bima dan Kota Bima , semuanya adalah etnik “ Bima ( Mbojo ) “ dan berbudaya serta berbahasa “ Bima ( Mbojo ) “. Bukankah tidak ada yang namanya “ Kabupaten Mbojo “dan “ Kota Mbojo “ ? Kalaupun ada disebut “Dou Dompu “, itu hanya bermakna “Orang beretnik Bima (Dou Mbojo) “ yang tinggal di Dompu , sama seperti “ Dou Sape “  yang bermakna “ Orang beretnik Bima ( Dou Mbojo ) “ yang tinggal di Sape atau “ orang Sila “ yang bermakna “ Orang beretnik Bima ( Dou Mbojo ) “ yang tinggal di Sila. Bukan menunjukkan sebutan pengelompokan etnis . Oleh karena itu sangatlah jika sebutan “ Dou Dompu “ hendak dimaknakan dengan “ etnis Dompu “ . Jadi , sesungguhnya tidak ada pengertian “ Dou Dompu “secara etnik melainkan hanya berarti asal wilayah geografis yaitu “ Dou Mbojo ( orang Bima ) yang bermukim di wilayah Dompu “. Karena itu pula tidak ada yang harus disebut “ Nggahi Dompu ( bahasa Dompu ) “ melainkan yang ada  hanya : “ Nggahi Mbojo ( bahasa Bima ) “.  Ini dikecualikan terhadap bahasa Kore , bahasa Kolo , bahasa Toloweri , yang keberadaanya secara budaya memang ada , sebagai anggota kelompok “ bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ) “ , walaupun secara etnik , masyarakatnya tetap sebagai “ Dou Mbojo ( orang Bima ) “ .

0 komentar:

Posting Komentar