Rabu, 06 Juni 2012

RASULULLAH SAW WAFAT DI PANGKUAN SIAPA?


Majalah QIBLATI Edisi 10 Tahun II Juli 2007 – Jumada-ats-Tsaniyah 1428 , halaman 28-30 memuat tulisan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi berjudul : “ KEPASTIAN WAFATNYA NABI SAW DI DADA AISYAH RA “. Sekalipun tulisan tersebut muncul tahun 2007 tetapi  baru dimiliki dan dibaca awal tahun 2011, tidak berarti tema yang dibicarakan menjadi usang di makan waktu. Masalah yang disajikan tetap menarik dibicarakan kapanpun karena masalah ini menjadi salah satu tema “ diskusi “ yang hangat antara SUNNI dengan SYI’AH.  
Dalam tulisan itu, Syaikh Mamduh Farhan al - Buhairi mengetengahkan hadist-hadist yang bercerita tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra. Tetapi anehnya justru dijadikan dalil penetapan tentang Rasulullah saw wafat di dada Aisyah ra. setelah menvonis hadist-hadist  tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra  tersebut adalah HADIST PALSU ( MAUDHI ) atau HADIST LEMAH ( DHA’IF ) atau HADIST YANG PERLU PEMAHAMAN YANG BENAR, tanpa mengetengahkan dan menganalisis hadist yang menyinggung Rasulullah saw wafat di dada Aisyah. Juga  tidak menjelaskan dan tidak menganalisis, hal-hal apa yang terdapat pada hadist yang bercerita tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra  sehingga dikatakan HADIST PALSU ( MAUDHI ) atau  HADIST LEMAH ( DHA’IF ) atau HADIST YANG PERLU PEMAHAMAN YANG BENAR. Dan tidak ditegaskan, apa ukuran dan patokan yang harus dipegang agar ADA PEMAHAMAN YANG BENAR atas hadist-hadist tersebut ?. Mengapa demikian, karena ketika kita berkata: “ HADIST YANG PERLU PEMAHAMAN YANG BENAR “ berarti sesungguhnya Syaikh Mamduh Farham al-  Buhairi  mengakui ada hadist shahih tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra. Tetapi “ HADIST ITU PERLU PEMAHAMAN YANG BENAR “ agar dicocokkan dengan keyakinan yang dianutnya yaitu Rasulullah saw wafat di dada Aisyah. Arah pernyataan tersebut yaitu hadist shahih tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra harus dimaknakan RASULULLAH SAW TIDAK WAFAT DI DADA ALI BIN ABI THALIB ra.  Ada semacam kejanggalan logika dari pola tersebut. Kejanggalan logika ini terlihat dari pola pengambilan kesimpulan yang dilakukan Syaikh Mamduh Farham al- Buhairi, yaitu mula-mula  menyajikan hadist tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra lalu ditetapkanlah hadist tersebut sebagai HADIST PALSU ( MAUDHI ) atau HADIST LEMAH ( DHA’IF ) atau HADIST YANG PERLU PEMAHAMAN YANG BENAR. Dengan penetapan demikian, hadist tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra justru dipakai sebagai bukti kebenaran Rasulullah saw tidak wafat di dada Ali bin Abi Thalib tetapi wafat di dada Aisyah ra. Demikian yang dipahami dari pernyataan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi. Model penarikan kesimpulan demikian sangat janggal. Ketika terjadi perbedaan pendapat atas  sebuah permasalahan maka ketika ada klaim seseorang bahwa dia berada dalam PEMAHAMAN YANG BENAR, maka orang tersebut pasti selalu terkungkung dalam subyektivitas manusia. Dalam dorongan subyektivitas yang sangat kuat, maka penarikan kesimpulan model Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi  pasti muncul walaupun harus menginjak akal dan nalar. Hal itu selalu terjadi yaitu mengklaim diri pemahaman kelompoknya yang benar dan pemahaman kelompok lain selalu salah.

HADIST-HADIST TENTANG NABI SAW WAFAT DI DADA ALI BIN ABI THALIB .

Berikut disajikan kembali hadist-hadist yang diketengahkan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra disertai komentarnya tentang kedudukan hadist-hadist tersebut sebagai HADIST PALSU       ( MAUDHI ) atau HADIST LEMAH (DHA’IF) atau HADIST YANG PERLU PEMAHAMAN YANG BENAR sehingga karenanya menjadi bukti kebenaran Rasulullah saw wafat di dada Aisyah ra tanpa menyajikan hadist yang membicarakan tentang Rasulullah saw wafat di dada Aisyah ra itu sendiri .

1.     Hadist yang dikeluarkan IBNU SA’AD dengan sanad sampai kepada ALI BIN ABI THALIB ra, dia berkata :
Rasulullah saw bersabda saat sakit beliau : “ Panggilkanlah untukku saudaraku ! “. Maka akupun mendatangi beliau lalu beliau bersabda : “ Mendekatlah kepadaku “. Maka aku pun mendekat kepada beliau , kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya beliau berbicara kepadaku, hingga air ludah beliau   mengenaiku “.
Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi mengomentari hadist di atas : “ INI ADALAH HADIST HALIK ( RUSAK ) , SANGAT DHA’IF “. Alasan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi untuk menyatakan demikian adalah : “ IBNU SA’AD meriwayatkannya dari MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI. Dia adalah PENDUSTA “.
Pernyataan Syaikh Mamduh demikian sebenarnya merujuk kepada pendapat-pendapat dari IMAM AHMAD BIN HAMBAL : “ Dia adalah pendusta, dia membolak balik Hadist “. Pendapat IBNU MU’IN : “ Dia bukan termasuk orang tsiqah , hadistnya tidak ditulis “. Dan AL BUKHARI dan ABU HATIM berkata : “ Matruk “. Maksud “ MATRUK “ adalah TERTUDUH SEBAGAI PENDUSTA. Juga ABU HATIM dan IMAM NASAA’I : “ Hadistnya diletakkan “ yang maksudnya diabaikan, tidak diperhatikan. Alangkah bagusnya jika Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi bisa memberikan penjelasan atau mengutip penjelasan dari sumber kutipan, mengapa AL WAQIDI ini dituduh sebagai pendusta tidak tsiqah, suka membolak-balik hadist.

2.     Hadist Jabir bin Abdullah ra bahwa Ka’ab Al Akhbar bertanya kepada Umar ra seraya berkata :
Apa yang terakhir kali dibicarakan Rasulullah saw ? Maka Umar menjawab :             “ Tanyalah kepada Ali “ .
Petilan hadist yang disajikan, tidak memberi informasi apakah Rasulullah saw wafat di dada Ali atau wafat dalam pelukan Aisyah tetapi ditafsir bahwa hadist tersebut memuat pengakuan Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra. Memahami hadist ini -sesuai dengan petilan hadist yang disajikan – sebenarnya bisa saja menunjukkan bahwa sebelum wafat, Rasulullah saw ada mengatakan sesuatu kepada Ali dan sesudah itu Rasulullah saw tidak berkata-kata lagi, entah kepada siapapun. Lama sesudah itu, barulah Rasulullah saw menghadap RABB-nya. Jadi tidak harus diartikan bahwa hadist ini memberi informasi bahwa Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra. Tetapi dengan menyodorkan petilan hadist di atas, kita dibawa untuk memahami bahwa Nabi saw ada berbicara terakhir kali lalu ketika ditanyakan tentang apa yang dikatakan Rasulullah saw terakhir kali, justru Umar bin Khattab ra menyuruh bertanya kepada Ali bin Abi  Thalib . Ini dipahami Nabi saw wafat ketika bersama Ali bin Abi Thalib ra.
Dalam hal ini Syaikh Mamduh Farhan al - Buhairi memberikan komentar atas hadist ini dengan pernyataan : “ ….INI ADALAH HADIST DHA’IF ( LEMAH ) “. Alasan Syaikh Mamduh Farhan al - Buhairi : “ ….Di dalam sanadnya terdapat MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI, dia adalah Matrukul Hadist (hadistnya ditinggalkan) …… juga di dalamnya terdapat HARAM BIB UTSMAN AL ANSHARI, dia juga Matruk “. Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi mendasarkan komentarnya  pada Imam Malik dan Yahya tentang AL WAQIDI : “ Dia tidak tsiqah “, dan Imam Ahmad : “ Manusia meninggalkan hadistnya “, Imam Safi’i dan Yahya bin Ma’in : “ Riwayat dari Haram , hukumnya haram “ dan Ibnu Hibban : “ Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah, membolak-balik sanad dan membuat yang mursal menjadi marfu’ ( hadist yang sampai kepada sahabat dikatakan sebagai hadist yang berasal dari Rasulullah saw “. Semua dasar penilaian atas hadist ini merujuk kepada figur AL WAQIDI, bukan pada kajian atas isi hadist itu sendiri.
Kembali lagi kita disodorkan dengan seorang penyampai hadist yaitu “ MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI “ dengan reputasi di mata Ulama Hadist sebagai seorang Matrukul Hadist yang dituduhkan kepadanya.  Sekalipun ada disebut seorang lain yang bernama HARAM BIN UTSMAN AL ANSHARI namun “ sumber ketidak- benaran “ dalam hadist tersebut tetap dikembalikan kepada MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI.

3.     Hadist yang berbunyi :
Dikatakan kepada Ibnu Abbas ra : “ Apakah engkau melihat Rasulullah saw wafat dan kepala beliau dipangkuan seseorang ? “. Maka dia berkata : “ Ya beliau meninggal dan beliau bersandar di dada Ali  “ ……………… “
Teks hadist yang disajikan terkutip oleh IBNU SA’AD dalam kitabnya “ THABAQAT AL KABIR “ berdasarkan riwayat dari MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI. Lagi-lagi Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi menetapkan vonis kepada MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI dengan berkata : “...INI ADALAH HADIST DHA’IF “. Alasannya karena figur MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI yang dinilai negatif di mana Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi berkata : “…..DIA MATRUKUL HADIST ……“  seperti komentarnya terhadap hadist-hadist sebelumnya. Tetapi sayangnya Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi tidak menjelaskan dalam hal apa saja hadist ini menunjukkan kelemahannya sehingga dikatakan dha’if. Rantai sanadnya sangat jelas : IBNU SA’AD – AL WAQIDI – SULAIMAN IBNU DAWUD AL HUSHAINI – AL HUSHAINI – ABI GHATAFAN – IBNU ABBAS. Lalu menjadi pertanyaan, dalam aspek apa sehingga hadist tersebut, dinyatakan dha’if ?. Jika karena adanya figur MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI sebagai sumber kedha’ifan hadist tersebut lalu apanya yang diubah atau dimanipulasi oleh figur MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI dari riwayat menurut rantai sanad SULAIMAN IBNU DAWUD AL HUSHAINI – AL HUSHAINI – ABI GHATAFAN – IBNU ABBAS ?. Logikanya, jika MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI sebagai titik awal sehingga hadist ini dikatakan dha’if, tentu apa yang disampaikan menurut rantai sanad SULAIMAN IBNU DAWUD AL HUSHAINI – AL HUSHAINI – ABI GHATAFAN – IBNU ABBAS adalah benar. Tetapi ketika sampai kepada AL WAQIDI maka riwayat hadist tersebut mengalami                perubahan “. Tetapi apa yang telah diubah AL WAQIDI dari riwayat tersebut, seharusnya dijelaskan oleh Syaikh Mamduh untuk membuktikan “ ketidak-benaran “ AL WAQIDI ?. Tapi sayang, hal tersebut tidak terangkat sama sekali. Tuduhan yang diangkat tersebut hanya pengulangan tuduhan Ulama Hadist.

4.     Hadist dari Ali bin al-Husain yang berkata :
Rasulullah saw wafat sementara kepala beliau di pangkuan Ali .
Kembali Syaikh Mamduh menyatakan : “….HADIST INI DHA’IF…“ tanpa penjelasan.isi hadist sehingga dikatakan “ DHA’IF “.  Lagi-lagi alasannya karena figur MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI dalam rantai perawinya yang menurut Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi : “… DIA MATRAKUL HADIST …. “ tanpa menjelaskan mengapa hadistnya ditolak dan bagaimana sebenarnya yang dilakukan MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI  ketika menyampaikan hadist ini . Untuk diketahui , dalam hadist disebut nama “ ALI BIN AL-HUSAIN “ yang tidak lain adalah anak Husain bin Ali bin Abi Thalib ra atau cucu ALI BIN ABI THALIB ra .

5.     Hadist yang diriwayatkan IBNU SA’AD dengan sanad kepada Asy Sya’bi yang berkata :
Rasulullah saw  wafat sementara kepala beliau di pangkuan Ali
Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi berkomentar atas hadist ini : “ Dalam sanadnya terdapat MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI, dia matruk dan di dalam sanadnya terdapat ABU AL HUWAIRRITS dan namanya ‘ABDURRAHMAN BIN MU’AWIYAH “. Lalu Syaikh  Mamduh Farhan al-Buhairi mengutip Ibnu Ma’in dan lainnya : “ Tidak bisa dijadikan hujjah “, tanpa menjelaskan mengapa tidak bisa dijadikan hujjah? Apakah karena tidak sesuai dengan faham yang dianut sekalipun hadist itu benar ?. Juga mengutip Imam Malik dan An Nasaa’i yang berkata : “ Dia tidak tsiqah “, juga tanpa menjelaskan mengapa tidak tsiqah. Juga tidak jelas yang tidak tsiqah itu, apakah MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI ataukah ABU AL HUWAIRRITS ( ‘ABDURRAHMAN BIN MU’AWIYAH ). Ataukah kedua-duanya ?. Demikianlah hadist-hadist tentang wafatnya Rasulullah saw di pangkuan Ali bin Abi Thalib ra  dan dinyatakan oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi sebagai HADIST DHA’IF , tanpa sama sekali menghadirkan hadist-hadist tentang Nabi saw wafat di dada Aisyah .
Ada satu hadist yang rupanya tidak bisa dibantah keshahihannya oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi yaitu hadist UMMU SALAMAH ra, yang berkata : “ Ali benar-benar adalah manusia yang paling dekat masanya dengan Rasulullah saw “. Syaikh Mamduh al- Buhairi mencoba menampiknya sebagai dalil tentang “ Ali yang paling dekat dengan Nabi saw pada saat beliau ( Nabi saw ) wafat  “, dengan berkata bahwa hadist Ummu Salamah ini : “ ….Tidak menafikan hadist ‘Aisyah bahwa dia mati di dadanya “ dan “ hadist Aisyah ra lebih shahih dari hadist Ummu Salamah ra “. Sehubungan dengan pernyataannya tersebut, seharusnya Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi menjelaskan beberapa hal :
-     Mengapa hadist ‘Aisyah ra lebih shahih dari hadist Ummu Salamah ra ?.
-     Dalam aspek apakah sehingga ditetapkan hadist ‘Aisyah ra lebih shahih dari hadist Ummu Salamah ra ? Apakah dari segi sanad ataukah dari segi matan ataukah kedua-duanya ?.
-     Bagaimana penjelasannya sehingga hadist Ummu Salamah tidak menafikan hadist Aisyah ra ?.
Sayangnya, tidak ada penjelasan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dalam hal-hal tersebut. Pernyataan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi terkesan sebagai sebuah “ penjejalan doktrin “ tanpa belas kasihan. Tetapi lucunya, Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi mau menerima kompromi IBNU HAJAR dalam kitab FATHUL BARI yang berkata :  
Mungkin bisa dikompromikan bahwa Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullah saw. Dia tidak meninggalkan  beliau hingga kepala beliau condong. Saat itu lalu dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang yang paling akhir bertemu dengan beliau. Kemudian beliau siuman dan dia sudah pergi, kemudian setelah itu, ‘Aisyah menyandarkan beliau di dadanya kemudian beliau wafat.
Seharusnya  Syaikh  Mamduh  Farhan  al - Buhairi  konsekwen  dengan  sikapnya  tentang         keunggulan “ hadist ‘Aisyah ra terhadap hadist Ummu Salamah ra. Jika hadist Ummu Salamah tidak menafikan ‘Aisyah dan hadist Aisyah lebih shahih dari hadist Ummu Salamah, seharusnya kompromi Ibnu Hajar tidak perlu disambut . Dengan fakta sikap yang “ menyambut “ kompromi Ibnu Hajar hanya menunjukkan pengakuan kebenaran hadist Ummu Salamah ra. Jadi, pernyataan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairii mengenai hadist Ummu Salamah sebagai hadist yang “…tidak menafikan hadist ‘Aisyah “ dan  “… hadist ‘Aisyah lebih shahih dari hadist Ummu Salamah “ hanya sebuah interpretasi pribadi tanpa penjelasan. Alangkah bijaknya bilamana Syaikh Mamduh menjelaskan secara rinci, mengapa hadist Ummu Salamah sebagai hadist yang “…tidak menafikan hadist ‘Aisyah “ dan mengapa “… hadist ‘Aisyah lebih shahih dari hadist Ummu Salamah “ dan apakah kriteria penerimaan kita terhadap suatu hadist ditentukan oleh “ lebih shahih “ dan tidaknya hadist tersebut terhadap hadist lainnya?. Apakah keshahihan suatu hadist hanya ditentukan dari segi sanad tanpa dilihat dari segi matan-nya ?. Perlu diingat penetapan hadist-hadist tersebut sebagai HADIST DHA’IF hanya didasarkan pada kajian SANAD tanpa kajian dari segi MATAN.


SUMBER “ BENCANA “ ITU ADALAH MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI ???

Inti penolakan atas hadist-hadist tentang Nabi saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra, 
rupanya bukan karena isi hadist tersebut tidak benar melainkan hanya karena yang meriwayatkannya AL WAQIDI. Nama lengkapnya : MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI yang menurut Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dinilai sebagai MATRUKUL HADIST ( hadistnya ditinggalkan ) atau TIDAK TSIQAH ( tidak terpercaya ) atau DITUDUH SEBAGAI PENDUSTA. Sayangnya semua tuduhan itu tanpa penjelasan yang adil mengapa dia dituduh MATRUKUL HADIST ( hadistnya ditinggalkan ) dan mengapa ia dituduh sebagai TIDAK TSIQAH dan PENDUSTA. Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi hanya menunjuk dan mengutip petilan tidak lengkap pernyataan para Ulama Hadist sebagai referensi seperti IMAM AHMAD BIN HAMBAL, IBNU MA’IN, IMAM MALIK, IMAM NASA’I, dan lainnya. Juga penetapan sebagai HADIST DHA’IF hanya didasarkan pada kajian SANAD tanpa kajian segi MATAN. Kemudian disimpulkan berdasarkan hadist-hadist yang berbicara tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali Bin Abi Thalib ra adalah “ hadist dha’if “. Lalu disimpulkan lanjut, benarlah hadist yang menyatakan Rasulullah saw wafat di dada Aisyah ra, tanpa mengkaji hadist Aisyah ra itu sendiri .
Logika demikian dapat dicontohkan sebagai berikut. Jika ada dua pernyataan, pertama “ Si A punya uang “ dan kedua “ Si B punya uang “, rupanya untuk membuktikan kebenaran pernyataan “ Si B punya uang “ , cukuplah dengan membuktikan “ Si A tidak punya uang “. Jelas pengambilan kesimpulan dengan logika seperti itu tidak layak ditampilkan untuk sebuah kajian serius, kecuali kajian sepintas sekedar mendukung klaim kebenaran diri. Di samping itu, keshahihan hadist tidak hanya terfokus pada keshahihan sanad melainkan juga pada keshahihan matan dari hadist yang ditinjau dari antara beberapa segi seperti tradisi – adat istiadat dan sebagainya. Hal yang sama seharusnya diperlakukan pula terhadap “ keshahihan “ hadist Aisyah ra, apakah shahih matannya atau tidak. Dengan  demikian tuduhan atas ketidak-shahihan hadist ditujukan kepada MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI  perlu dikaji lebih luas tentang kebenaran tuduhan tersebut.
Menyimak semua komentar Ulama Hadist yang dicuplik Syaikh Mamduh Farhan Al Buhairi atas setiap hadist tentang Nabi saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra , ada kesan ketidak-sukaan terhadap MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI yang lebih disebabkan oleh alasan dan motivasi tertentu yaitu karena tokoh ini dinilai Syi’ah seperti yang dikatakan Ibnu Hibban : “ Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah  “ sehingga tidak perlu dilirik. Tetapi semuanya lupa bahwa AL WAQIDI adalah sumber kutipan IBNU SA’AD, salah seorang penulis awal Sirah Nabawiyah yang justru memihak Abubakar Ash Shiddiq. Harap diperhatikan, dari antara hadist yang disajikan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi tercantum “ IBNU SA’AD “ sebagai perawi.  Ketidak-sukaan lainnya disebabkan karena metodologi penyampaian riwayat oleh MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI tidak seperti yang menjadi tradisi dan metodologi kesukaan Ulama-Ulama Hadist. Hal ini diperkirakan menjadi faktor munculnya tuduhan terhadap MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI, sebagai MATRUKUL HADIST, TIDAK TSIQAH, PENDUSTA. Tuduhan yang serupa juga menimpa IBNU ISHAK, salah seorang penulis awal Sirah Nabawiyah oleh begitu banyak ‘Ulama Hadist. Padahal justru IBNU ISHAK adalah salah satu perawi terpercaya dari Bukhari, tetapi tuduhan tetap jatuh padanya. Tuduhan terhadap AL WAQIDI juga tidaklah terlalu jauh seperti tuduhan yang dilemparkan kepada Imam Syafi’i seperti yang diungkapkan DR. Muhammad Sayyid Al Wakil dalam bukunya       WAJAH   DUNIA    ISLAM ,  DARI   BANI   UMAYYAH   HINGGA   IMPERIALISME
MODERN “ ( edisi terjemahan bhs. Indonesia  hal. 113 ) sebagai berikut :
Para pakar hadist berkata : “ Bahwa Imam Syafi’i meriwayatkan hadist dari PARA PENDUSTA dan AHLI BID’AH. Ia juga meriwayatkan hadist dari IBRAHIM BIN YAHYA padahal IAPENGIKUT ALIRAN QADARIYAH “. Mereka berkata lebih lanjut :“ Sesungguhnya Imam Syafi’i menghina Ismail dan Ulbah kemudian meriwayatkan hadist daripadanya “ . Kata mereka lagi : “ Imam Syafi’I tidak percaya kepada legalitas hadist-hadist mursal padahal BUKU-BUKUNYA SARAT DENGAN HADIST-HADIST MURSAL “.
Di antara kritik pedas yang mereka tujukan kepada Imam Syafi’i, mereka berkata : “Sesungguhnya IMAM SYAFI’I ORANGNYA LEMAH. Oleh karena itu , Imam Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan satu hadistpun dalam kitab shahihnya dari Imam  Syafi’i. Kalaulah Imam Syafi’i tidak lemah dalam periwayatan hadist menurut penilaian Imam Bukhari dan Muslim, maka pasti keduanya meriwayatkan hadist daripadanya meski cuma satu hadist “.
Apa  yang  perlu  direspon  dengan  tuduhan  terhadap  Imam Syafi’i ini ?. Jika kita menelan mentah-mentah tuduhan terhadap Imam Syafi’i sebagai “ meriwayatkan hadist dari PARA PENDUSTA dan AHLI BID’AH, meriwayatkan hadist dari PENGIKUT ALIRAN QADARI-YAH, menghina Ismail dan Ulbah kemudian meriwayatkan hadist daripadanya, BUKU-BUKUNYA SARAT DENGAN HADIST-HADIST MURSAL, ORANGNYA LEMAH, dan Imam Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan satu hadistpun dalam kitab shahih-nya “ ( karena lemahnya ) maka apakah tidak sebaiknya mazhab Syafi’i dihancurkan saja, tidak perlu dianut dan dikembangkan, khususnya di Indonesia. Tapi masuk akalkah tuduhan ini ?. Imam Syafi’i meriwayatkan hadist berikut ( dikutip dari kitab “ MUSNAD SYAFI’I “ bahasan oleh Syekh Muhammad Abid As-Sindi ):
Muhammad ibnu Umar ( yakni Al- Waqidi ) telah menceritakan kepada kami dari Abdullah ibnu Umar Ibnu Hafsh dari Nafi, dari Ibnu Umar : “ Annahu kaana yar-fa’u yaday-hi kullamaa kabbara ‘alaal-janaa-zah “ ( Bahwa ia mengangkat kedua tangannya ketika melakukan takbir shalat jenazah ).
Imam Safi’i telah meriwayatkan dari AL WAQIDI ( Muhammad ibnu Umar ) tentang shalat jenazah yang dilakukan Ibnu Umar ra yaitu dengan mengangkat tangan ketika bertakbir. Merujuk pada tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepada Imam Syafi’i :     BUKU-BUKUNYA SARAT DENGAN HADIST-HADIST MURSAL, ORANGNYA LEMAH, dan Imam Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan satu hadistpun dalam kitab shahihnya “,kita bertanya apakah hadist yang diriwayatkan Imam Syafi’i tersebut adalah hadist mursal atau semisalnya ? Jika kita menuduhnya seperti itu, marilah kita baca hadist yang diriwayatkan Imam Turmudzi dan Imam Daraquthni berikut :
Kabbara rasuw-lullah shallallaahu ‘alay-hi wa sallama ‘alaa janaa-zatin fa ra-fa’a yaday-hi fiy awwali takbiy-ratin wa wadha’al yum-naa ‘alaal yusraa ( Bertkabir Rasulullah saw atas jenazah, maka beliau mengangkat kedua tanggannya pada takbir awal dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri.
Riwayat Imam Syafi’i dari AL WAQIDI ( Muhammad ibnu Umar ) sejalan dengan riwayat Imam Turmudzi dan Imam Daraquthni. Dihubungkan dengan tuduhan terhadap Imam  Syafi-i apakah kita perlu melakukan tuduhan yang sama terhadap Imam Turmudzi dan Imam Daraquthni ? Jelaslah betapa tuduhan terhadap Imam Syafi-i sebagai tuduhan yang tidak bertanggung jawab. Demikian pula tuduhan terhadap AL WAQIDI . Tuduhan atasnya tidak perlu ditelan mentah-mentah.
Untuk dimaklumi, ketidak-sukaan terhadap MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI karena menyajikan isi hadist yang diriwyatkannya sangat jauh dari pemahaman golongan Sunni yang mengharuskan : RASULULLAH SAW WAFAT DI DADA AISYAH. Keharusan ini tidak lepas dari konflik antara SUNNI dengan SYI’AH. Padahal kebenaran sejarah tidak peduli dan tidak butuh dengan konflik SUNNI – SYI’AH. Walaupun kita tahu, banyak yang memplintir fakta sejarah yang sebenarnya demi mempertahankan kebenaran kelompoknya masing-masing. Jika benar Rasulullah saw wafat dalam pelukan Ali bin Abi Thalib ra sebagai fakta sejarah, dan kita mengakuinya maka hal itu tidak menyebabkan kita menjadi seorang Syi’ah. Sebaliknya jika benar Rasulullah saw wafat di dada ‘Aisyah ra dan kita menerimanya sebagai fakta sejarah maka hal itu pun tidak menyebabkan kita keluar dari Islam sebagaimana yang menjadi caci-maki kelompok Syi’ah terhadap Aisyah ra dan sahabat lainnya. Yang penting bagi kita adalah bagaimana fakta sejarah sebenarnya tersajikan secara adil tanpa terjebak dalam konflik SUNNI-SYI’AH . Imam Safi’i juga dituduh SYI’AH oleh sejumlah Ulama pada masanya bahkan sesudahnya lantaran menyajikan beberapa pendapat yang dinilai mendukung Ali bin Abi Thalib ra. Kebenaran fakta sejarah telah dikaburkan oleh kebencian kelompok yang terbangun sejak pasca wafatnya Rasulullah saw dan semakin menghangat di masa kekhalifahan Utsman lalu diperparah pada masa Mu’awiyah, sampai-sampai Mu’awiyah selalu memberi hadiah kepada mereka yang mencaci – maki Ali bin Abi Thalib ra di atas mimbar-mimbar. Ini realitas sejarah yang tidak pernah bisa dihapuskan tetapi ada usaha untuk melupakannya. Sebaliknya sejarah mencatat Sunni melaknat kaum Syi’ah lantaran mereka mencaci maki para sahabat.


SIAPAKAH TOKOH : MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI ITU ?

Menjadi pertanyaan penting : SIAPAKAH TOKOH MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI, yang dituduh sebagai MATRUKUL HADIST, TIDAK TSIQAH dan PENDUSTA tanpa penjelasan tersebut ?. Menjawab pertanyaan ini,, berikut disajikan kutipan beberapa pernyataan Prof.Dr. Husein Mu’nis dalam bukunya : “ DIRASAT FI AL- SIRAH AL-NABAWIYAH “ yang diterbitkan AL ZAHRA LI AL-I’LAM AL ‘ARABI, Cairo 1988 ( edisi terjemahan bhs.Indonesia : AL SIRAH AL-NABAWIYYAH, Upaya Reformulasi Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad saw) :
Jika ingin mencari jalan keluar bagi kondisi ummat Islam yang demikian menyedihkan dewasa ini, niscaya ada dalam SIRAH RASULULLAH. Tapi perlu membaca SIRAH dan SUMBER ASLI yaitu melalui sumber-sumber sejarah yang belum terjamah oleh pena penulis yang menguraikan SIRAH NABI berdasarkan KECENDERUNGAN DAN KEPENTINGAN MASANYA, seumpama ABDUL MALIK BIN HISYAM, yang kami nilai memasukkan data-data sejarah yang tidak otentik ke dalam SIRAH, hanya untuk memuaskan kecenderungan intelektualnya.
SUMBER-SUMBER YANG ASLI dapat diperoleh dalam riwayat generasi pertama seperti ‘Urwah Ibnu Zubair, Abban Ibnu Utsman, Musa Ibnu ‘Uqbah, Ubaid Ibnu Sharia, kemudian Ibnu Ishaq, Al Baladzari, AL WAQIDI, IBNU SA’AD dan AL YA’QUBI  ( hal. 5-6 ).
Sedangkan karya IBNU HISYAM sendiri adalah formulasi perorangan yang dilakukan oleh MUHAMMAD IBNU ABDUL MALIK IBNU HISYAM dengan memodifikasi SIRAH yang ditulis MUHAMMAD IBNU ISHAQ IBNU YASAR AL MUTHTHALBI. Oleh karena itu kami tetap memandang perlu memisahkan antara karya IBNU HISYAM dengan karya IBNU ISHAQ. Di samping sumber-sumber terpercaya lainnya yang terdiri dari kitab-kitab hadist dan terutama Al Qur-an, kami TETAP MENGANDALKAN KARYA-KARYA IBNU ISHAQ, AL BALADZARI , AL WAQIDI dan yang sederajat. Dan hampir tidak merujuk karya IBNU HISYAM sama sekali ( hal. 51 ).
Meski karya-karya Salaf yang menjadi referensi utama dalam bidang ini cukup  melimpah , NAMUN YANG MASIH UTUH ANTARA LAIN KARYA AL WAQIDI ( W. 207 H / 822 M ). Tapi sumber-sumber tersebut saling melengkapi. Kita tetap berharap bahwa data-data yang hilang, pada suatu hari dapat ditemukan kembali.
Sementara dari generasi pasca AL WAQIDI terdapat IBNU SA’AD dengan karyanya AT THABAQAT, disusul oleh IBNU HISYAM yang menyusun kembali karya IBNU ISHAQ dengan banyak menambahkan dan mengurangi, namun secara umum masih meng-gambarkan pemikiran asli . Selanjutnya AT THABARI dan AL BALADZARI ( hal. 81 ).
Bagi kami , YANG LEBIH PRIORITAS ADALAH KARYA AL WAQIDI kemudian KARYA IBNU SA’AD karena beberapa alasan :
PERTAMA, karena DATA-DATANYA YANG MELIMPAH, LENGKAP DAN AKURAT .
KEDUA , karena KETEPATANNYA MEMILIH TOPIK DENGAN PEMBAHASAN YANG RINGKAS DAN PADAT.
Kedua tokoh tersebut ( maksudnya : AL WAQIDI dan IBNU SA’AD , ZA ) MEMPUNYAI PENDEKATAN YANG TIDAK SAMA DENGAN PENDEKATAN AHLI HADIST . Kelompok yang terakhir ini ( yaitu Kelompok Ahli Hadist , ZA ) mencatat setiap peristiwa dengan SANGAT TERIKAT PADA SISTEM PENCANTUMAN PERAWI, sehingga jika susunan perawi berbeda, mereka mencatatnya secara terpisah, walaupun yang diriwayatkan mengenai peristiwa yang sama. Sedangkan para sejarawan, menggunakan PENDEKATAN RIWAYAT KOLEKTIF yaitu mencatat pelbagai riwayat menyangkut peristiwa tertentu, dibandingkan satu sama lain, kemudian secara induktif ditarik satu kesimpulan substantif  yang selanjutnya dituangkan dalam satu bentuk riwayat.
AL WAQIDI dan IBNU SA’AD, umpamanya, mencatat daftar perawi yang menjadi setiap berita yang dimuatnya dan kadangkala berita yang dicatatnya mempunyai rangkaian pertalian perawi. Ini tidak menghalangi mereka untuk mencatat satu berita tertentu beserta susunan perawinya. Pendekatan yang sama juga dianut AL THABARI, namun dengan sistematika yang berbeda dengan yang kita dapatkan pada AL WAQIDI  dan IBNU SA’AD. Ketiga tokoh tersebut adalah SEJARAWAN YANG MEMILIKI PENDEKATAN BERBEDA DENGAN AHLI HADIST. ITU SEBABNYA MENGAPA MEREKA KEMUDIAN MENDAPAT KRITIK TAJAM DARI PARA AHLI HADIST, BAHKAN SERINGKALI DITUDUH MENDUSTA DAN MEMALSUKAN ( hal.. 83 )
Dengan  menyelidiki  daftar  perawi  AL  WAQIDI,  kita  dapat  yakin bahwa KARYANYA
CUKUP AKURAT KARENA TERNYATA PERAWI-PERAWI YANG MENJADI SUMBERNYA ADALAH ORANG YANG TERPERCAYA ( hal. 83 )
Demikian petilan paparan Prof. Dr. Husein Mu’nis yang mengandung pujian kepada Muhammad bin Umar AL WAQIDI.  Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri dalam buku berjudul    Ash Shirah An Nabawiyah Ash Shahihah “ ( edisi terjemahan bhs.Indonesia :      Shahih Shirah  Nabawiyah “ ), ketika menyajikan figur para sejarawan kuno Muslim, telah memberi pernyataan yang relatif cukup panjang khusus tentang AL WAQIDI dibandingkan figur sejarawan lainnya ( hal. 57-60 ) sebagai berikut :
Muhammad bin Umar Al Waqidi ( w. 207 H ) dha’if di kalangan ahli hadist , PADAHAL ILMU PENGETAHUANNYA SANGAT TINGGI. Terkadang memberikan tambahan pada sejarah Ibnu Ishaq lalu menjelaskan pendapatnya dan memilih salah satunya .
Beliau memiliki perpustakaan dengan enam ratus rak besar dan membutuhkan seratus dua puluh gerobak besar untuk mengangkut bukunya dari Kurkh ke Rashaf. Beliau tidak hanya mengambil sumber dari kitab tapi datang sendiri ke tempat kejadian.
Riwayat beliau dalam masalah akidah dan syariat tidak terpakai. Hanya saja BISA DIPAKAI SEBAGAI PENJELASAN BAGI PERISTIWA-PERISTIWA SECARA DETAIL SELAMA TIDAK BERKAITAN DENGAN AQIDAH DAN SYARIAT, khususnya yang tidak bertentangan dengan riwayat shahih.
Pernyataan Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri : “ BISA DIPAKAI SEBAGAI PENJELASAN BAGI PERISTIWA-PERISTIWA SECARA DETAIL SELAMA TIDAK BERKAITAN DENGAN AQIDAH DAN SYARIAT   sangat menarik. Hal ini diulangi kembali oleh Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri pada halaman 309 dari bukunya ketika membicarakan riwayat AL WAQIDI tentang pengepungan dan pengusiran orang-orang Yahudi dari Bani Qainuqa’ sebagai berikut :
Namun dilihat dari sudut pandang Ilmu Hadist, peristiwa ini TIDAK TAMPIL DALAM DERAJAT YANG SHAHIH. Tetapi menurut Ahli Hadist, periwayatan sejarah secara terperinci, TIDAK TERLALU MENGUTAMAKAN KESHAHIHAN RIWAYAT. Begitu juga disebutkan dalam metode penulisan sejarah ( Historical Method ) TIDAK TERLALU MEMBUTUHKAN KESHAHIHAN SANAD. Karenanya, SANGATLAH TIDAK WAJAR JIKA MENGABAIKAN BERITA-BERITA SEMACAM ITU  dalam mempelajari sejarah. KECUALI BILA HAL ITU BERSINGGUNGAN DENGAN MASALAH AQIDAH ATAU SYARI’AT, maka sangat diperlukan keshahihan suatu riwayat yang layak diangkat sebagai hujjah .
Pertanyaan kita,  Nabi saw wafat di dada Aisyah “ atau “ Nabi saw wafat di dada Ali  “ apakah masalah aqidah dan syari’at ataukah masalah sejarah ?.  Jelas BUKAN MASALAH AQIDAH DAN BUKAN MASALAH SYARI’AT. Dengan demikian, merujuk kepada pernyataan Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri tersebut, maka kisah yang disajikan Al Waqidi tentang “ Nabi saw wafat di dada Ali “ bisa dipakai. Lanjutan dari pernyataan tersebut : “……khususnya yang tidak bertentangan dengan riwayat shahih “ dipahami : “riwayat shahih yang berkenaan dengan aqidah dan syari’at “ bukan riwayat shahih yang berkenaan dengan sejarah . Selanjutnya Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri mengungkap pendapat dari Ibnu Hajar ( - dialah yang berkata bahwa hadist-hadist Al Waqidi tidak terpakai - )
Dan Al Waqidi , selama tidak bertentangan dengan riwayat shahih atau ahli sejarah yanglain , maka IA DITERIMA DI KALANGAN TEMAN-TEMAN KAMI .
Ibnu Sayyidin Nas dalam bukunya “ ‘Uyunul Atsar “ sebagaimana yang dikutip Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri, juga berbicara tentang Al Waqidi dan menegaskan :
Tingginya ilmu pengetahuan seseorang diyakini sebagai penyebab banyaknya riwayat gharib dan banyaknya riwayat gharib sangat mencurigakan. Al Waqidi sangat tinggi ilmu pengetahuannya maka banyak pula riwayat gharib yang ada padanya .
Sebagai contoh dalam masalah ini adalah tentang jumlah pasukan Muslim dalam perang Hunain. Satu-satunya perawi sejarawan Muslim kuna yang menyebut jumlah pasukan Muslim adalah AL WAQIDI yaitu sebanyak 20.000 orang. Apakah Al Waqidi berdusta ketika tidak seorangpun dari Ahli Hadist menyebut jumlah ini ?. Al Hafidz Ibnu Hajar justru memilih pendapat Al Waqidi ini. Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri, lebih lanjut memuji Al Waqidi ketika menyinggung Perang Khaibar dengan berkata :
Hanya AL WAQIDI yang menentukan jalan yang dilalui Rasulullah saw ketika menuju Khaibar secara spesifik , karena IA MEMANG MERUPAKAN PAKAR SEJARAH DAN AHLI DALAM MENELITI JALUR DAN TEMPAT-TEMPAT YANG PERNAH DISINGGAHI RASULULLAH SAW serta latar belakang peristiwa sejarah dengan cara mengikuti jejaknya , bertanya atau meneliti sendiri ….. ( hal. 332 )
Kita bertanya, apakah AL WAQIDI adalah tukang dusta ketika menceritakan jalur jalan yang ditempuh Rasulullah saw dan pasukan Muslim ketika menuju Khaibar, hanya karena tidak disebut oleh Ahli Hadist ?. Pujian lanjut dari Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri terhadap AL WAQIDI, ketika AL WAQIDI bercerita tentang benteng-bentang Khaibar :
Pemaparan peristiwa penaklukkan benteng Ash Shaib, Az Zubair dan dua wilayah Asy Syaq dan Al Kutaibah berdasarkan pada riwayat AL WAQIDI, yang merupakan SATU-SATUNYA ORANG YANG MEMAPARKAN PERISTIWA TERSEBUT secara jelas dan gamblang. Ia adalah SEORANG AHLI SEJARAH DAN MEMILIKI BANYAK MAK-LUMAT, sekalipun para Ahli Hadist menganggapnya dha’if. HAL INI TERMASUK PERKARA YANG TIDAK PERLU DIPERMASALAHKAN, justru termasuk yang ditolerir.
Tentu sangatlah mubazzir jika kita tidak menghadirkan pernyataan penulis Barat tentang AL WAQIDI , antara lain misalnya Barnaby Rogerson dalam bukunya “ THE HEIRS OF THE PROPHET MUHAMMAD “ ( edisi terjemahan bahasa Indonesia : PARA PEWARIS MUHAMMAD , hal. 349 ) yang berkata : “ …. Yang paling netral dan professional dari semua sejarawan pertama “ . Satu pujian tentang keunggulan AL WAQIDI. Begitu pula Imam As-Suyuthi dalam bukunya  “ TARIKH AL- KHULAFA “ ( ed. Bhs. Indonesia : TARIKH KHULAFA “ ), salah satu rujukannya adalah riwayat dari AL WAQIDI. Sebagai contoh ketika membicarakan pengangkatan Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah, Imam As- Suyuthi mengutip AL WAQIDI dengan berkata : “ AL WAQIDI  meriwayatkan dari jalan Aisyah, Ibnu Umar, Sa’id Ibnu Al Musyayyib dan yang lain, mereka berkata, ‘ Sesungguhnya Abubakar dibaiat pada saat Rasulullah wafat pada hari Senin tanggal dua belas Rabiul Awwal tahun sebelas Hijrah ‘ “. Pertanyaan kita, apakah riwayat AL WAQIDI ini adalah riwayat yang harus ditolak karena penuh dengan kebohongan lantaran  AL WAQIDI adalah seorang YANG TIDAK TSIQAH dan MATRAKUL HADIST dan semacamnya ? Contoh lainnya, ketika membicarakan sakitnya Abubakar Ash Shiddiq , Imam As-Suyuthi kembali merujuk kepada AL WAQIDI dengan berkata :      AL WAQIDI dan Imam Hakim meriwayatkan dari Aisyah yang berkata, ‘ Awal sakit ayahku Abubakar, ialah pada saat dia mandi pada hari Senin tanggal 7 Jumadil Akhir. Kemudian dia merasa kedinginan seharian. Dia tersrang demam selama lima belas hari dan tidak bisa menghadiri shalat jamaah. Dia meninggal pada malam Selasa tanggal 22 Jumadil Akhir tahun ke 13 Hijriyah dalam usia 63 tahun ‘ “. Kita bertanya, apakah riwayat dari AL WAQIDI dan dikutip Imam As- Suyuthi adalah riwayat yang penuh dengan kedustaan mengingat AL WAQIDI adalah seorang YANG TIDAK TSIQAH, PENDUSTA dan MATRAKUL HADIST dan semacamnya, sebagaimana yang dituduhkan para Ulama Hadist dan dikutip kembali secara mentah-mentah tanpa penjelasan oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi ?  Melihat riwayat AL WAQIDI yang memperkuat “ keabsahan “ Kekhalifahan Abubakar Ash Shiddiq di atas , apakah layak kita menuduhnya sebagai seorang Syi’ah ? Lalu sekarang AL WAQIDI “ digoreng tanpa kasihan dalam kuali tuduhan “ sebagai MATRAKUL HADIST, PENDUSTA, HADISTNYA DHA’IF , MENGUBAH URUTAN SUSUNAN SANAD dan sebagainya hanya karena menyajikan sejarah yang tidak memenuhi selera Ulama Hadist dan juga bertentangan dengan selera golongan Sunni. Penilaian positif Pakar sejarah terhadap AL WAQIDI telah memunculkan pertanyaan, SEJAUH MANAKAH KEBENARAN TUDUHAN PARA ULAMA HADIST TERHADAP AL WAQIDI SEBAGAIMANA DIKUTIP SYAIKH MAMDUH FARHAN AL BUHAIRI ?. Diharap, Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi tidak terburu-buru menuduh Prof. Dr. Husein Mu’nis dan lainnya sebagai orang Syi’ah lantaran memberi pernyataan yang bertentangan dengan klaim kebenaran yang dianut oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi. Memang menjadi kesukaan sebagian besar kita kaum Muslimin, bilamana mendapatkan sebuah pernyataan dari seseorang yang bertentangan dengan pemahaman yang dianut, langsung menuding orang itu baik lisan ataupun tulisan: TAKFIRY, SYI’AH, KHAWARIJ, MURJI’AH, INKARUS SUNNAH dan MENYIMPANG DARI MANHAJ SALAF. Masih ditambah lagi dengan caci maki yang sering kali sudah keluar dari adab sopan santun,. Yang diharap, sajikanlah argumentasi ilmiah, logis, tanpa harus dilampiri dengan sikap-sikap emosional yang keluar dari keindahan sopan santun Islam. Padahal bisa jadi yang dituding dengan berbagai gelar tersebut LEBIH ISLAMI daripada yang menuding. Sikap negatif semacam ini , memang menjadi kebiasaan di antara ulama-ulama kita ( Sunni ). Dengan sesama Sunni saja sudah saling “ berhantam “ lantaran ketidak-sepahaman pada beberapa masalah keagamaan. Apalagi dengan golongan non Sunni. Contoh yang jelas, Imam Safi’i  saja sudah dituduh dengan tuduhan yang tidak keruan-keruan. Imam Nasai telah men-jarh (menjelekkan, mencela ) Ahmad  Ibn Shalih dan sebaliknya Ahmad Ibnu Shalih mengusir Imam Nasai bersama rombongannya dari suatu majelis ilmu karena tidak mengindahkan adab berpendapat, yang semuanya berangkat dari permusuhan antara keduanya. Imam al-Tsauri mengeritik Imam Abu Hanifah lantaran Imam Abu Hanifah dari ahli ra’yu. Ibnu Abi Dzi-bin mengeritik Imam Malik bin Anas secara berlebih-lebihan.  Banyak contoh tentang “ saling hantam “ para Ulama kita, terutama para Ulama Hadist terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan metodologi mereka. Hal  semacam inilah yang dipahami telah terjadi pada AL WAQIDI.
Menyimak  pernyataan  Prof. Dr. Husein Mu’nis, Ibnu  Sayyidin Nas  dan Dr. Akram
Dhiya’ Al-Umuri tentang AL WAQIDI tersebut di atas. Kita mendapatkan gambaran sebenarnya bahwa tuduhan negatif para Ulama Hadist terhadap AL WAQIDI, tidak lain karena perbedaan metodologi dan pendekatan dalam periwayatan antara AL WAQIDI selaku SEJARAWAN dengan para Ahli Hadist ( Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Imam Malik, Imam Nasa’I, Ibnu Hiban dan lainnya ) selaku ULAMA HADIST. Dalam hal ini AL WAQIDI lebih mengutamakan substansi riwayat tentang suatu peristiwa dari berbagai sumber dengan “mencampur aduk” perawi-perawi dari berbagai versi riwayat tersebut sehingga terkesan bahwa AL WAQIDI telah mengubah hadist dengan membolak-balik perawinya, sehingga diberikan kepadanya gelar: PENDUSTA dan segala macamnya sehingga jadilah dia sebagai MATRUKUL HADIST seperti yang dikatakan para Ulama Hadist. Sedangkan ULAMA HADIST memiliki metodologi dan pendekatan yang mementingkan kedudukan para perawi dari suatu hadist. Perbedaan ini telah memunculkan betapa hadist-hadist yang disajikan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi tentang Rasulullah saw wafat di pangkuan Ali bin Abi Thalib ra dinyatakan DHA’IF karena di dalamnya tercantum AL WAQIDI. Nyatanya sebagaimana yang diakui Prof. Dr. Husein Mu’nis tentang AL WAQIDI : “ Karyanya cukup akurat karena ternyata perawi-perawi yang menjadi sumbernya adalah orang yang terpercaya “. Ini menunjukkan bahwa AL WAQIDI adalah perawi terpercaya ( TSIQAH ). Lalu ketika ada yang mencelanya, maka dalam prinsip AL JARH WA TA’DIL, harus dijelaskan letak ketercelaannya (al- Jarh).. Perbedaan metodologi tidak bisa dijadikan pencelaan. Banyak contoh tentang penilaian perawi seperti misalnya, Ibn Abdil Bar dan Ibn Hazm menilai DHA’IF Aban ibn Shalih ketika di sisi lain, Ibn Ma’in, Al ‘Ijli, Ya’qub Ibn Syaibah, Abu Zur’ah dan Abu Hatim menilai Aban ibn Shalih sebagai TSIQAH. Apa kesimpulan kita dengan fakta tersebut ? Oleh karena itu tuduhan negatif terhadap AL WAQIDI yang dilontarkan Ulama Hadist dan dikutip kembali oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dengan mengatakan: HADISTNYA DHA’IF, DIA MATRUKUL HADIST, PENDUSTA, TIDAK TSIQAH dan lainnya, tidak bisa dipertahankan lagi dan tidak valid untuk dijadikan argumentasi serta dalil untuk menolak hadist-hadist tersebut yang sebenarnya berbicara tentang sejarah daripada berbicara tentang aqidah dan syari’at.
Selanjutnya mengenai IBNU SA’AD yang merawikan riwayat dari AL WAQIDI tersebut, kita mendapatkan pemahaman tentangnya bila dilihat dalam perspektif kontroversi SUNNI-SYI’AH. Dalam bukunya “ Origin and Early Development of Shi’a Islam “ ( edisi terjemahan bahasa Indonesia : “  DARI SAQIFAH  SAMPAI IMAMAH  “ hal. 66 – 70 ) , S.H.M. JUFRI menjelaskan bagaimana sikap Ibnu Sa’ad dalam kitabnya yang berjudul “ ATH THABAQAT AL KABIR “  ketika menceritakan peristiwa Saqifah yang berujung pada pembaiatan Abubakar Ash Shiddiq ra sebagai Khalifah , dengan kecenderungan yang sangat kuat membela keabsahan Abubakar sebagai Khalifah, ketika di sisi lain pembaitan itu pada masa berikutnya ditolak kaum Syi’ah dengan segala caci-maki. S.H.M. JUFRI menulis tentang karya Ibnu Sa’ad :
Bagian keempat , berjudul “ SHALAT YANG DIIMAMI ABUBAKAR ATAS PERINTAH RASUL SEBELUM RASUL WAFAT “, barangkali merupakan yang paling indikatif dari SIKAP IBNU SA’AD. Di sini ia menyodorkan sepuluh hadist , lima yang pertama melukiskan desakan Rasul bahwa hanya Abubakar yang harus memimpin shalat sementara Muhammad sakit. Tiga hadist berikutnya menggambarkan permintaan Muhammad akan alat tulis UNTUK MENULIS KEHENDAK DAN PERINTAHNYA YAKNI BAHWA ABUBAKAR AKAN MENGGANTIKANNYA  sehingga masyarakat tidak ragu atau bertikai tentang masalah ini ………………….
Siapa saja yang membaca bagian ini dari Ibnu Sa’ad, akan segera merasa bahwa sang penulis mempunyai TUGAS TERTENTU YANG DIBEBANKAN KEPADANYA. Seluruh bagian dirancang dengan hati-hati UNTUK MEMPERLIHATKAN BAHWA ABUBAKAR melalui kebanggaan dan indikasi istimewa yang ditunjukkan Rasul TAK RAGU LAGI MERUPAKAN SATU-SATUNYA CALON YANG PANTAS MENGGANTIKAN RASUL YANG SEDANG SAKIT …………………………………………
Meskipun begitu , keutamaannya sebagai penulis awal , tak diragukan lagi. Ia adalah salah satu PERAWI PALING TERKEMUKA PADA ZAMANNYA dan MEWAKILI ALIRAN PENULIS BIOGRAFI, SEKALIGUS AHLI HADIS YANG SANGAT PENTING……….. IA MEWAKILI ALIRAN YANG KEMUDIAN MENDOMINASI PERKEMBANGAN PANDANGAN SUNNI DALAM ISLAM
Dari informasi ini, jelaslah IBNU SA”AD adalah penulis Muslim kuno sejarah Islam MEWAKILI ALIRAN YANG KEMUDIAN MENDOMINASI PERKEMBANGAN PANDANGAN SUNNI DALAM ISLAM, pendukung keabsahan Abubakar Ash Shiddiq ra sebagai Khalifah. Riwayat-riwayat yang disajikan Imam As- Suyuthi , banyak menyebut IBNU SA’AD sebagai sumbernya. Mengapa hal ini harus dikemukakan?. Ini sesuai dengan salah satu hadist yang disajikan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi tentang riwayat dari AL WAQIDI, yang justru diriwayatkan IBNU SA’AD dengan berkata : “ Rasulullah saw  wafat sementara kepala beliau di pangkuan Ali “. Jika AL WAQIDI dituduh sebagai SYI’AH sedangkan IBNU SA’AD adalah pembela Abubakar Ash Shiddiq ra – yang justru dicaci-maki oleh orang-orang Syi’ah – lalu mengapa IBNU SA’AD yang “ SUNNI “ mengambil riwayat dari AL WAQIDI yang “SYI’AH “ ? Permasalahan seperti ini tidak selurus telunjuk yang suka menuding orang yang tidak sepandangan dengan pemahaman yang dianut . Sebagai contoh tentang riwayat Perang Uhud. Usai pertempuran yang hebat di mana kemudian Kaum Quraisy mengundurkan diri dari medan pertempuran dengan merasa menang atas kaum Muslimin, lalu Rasulullah saw mengutus kurir untuk menyelidiki arah perginya pasukan kafir Quraisy. Ketika IBNU ISHAQ dan AS SUDDI menyebutkan bahwa kurir yang diutus adalah ALI BIN ABI TALIB ra , justru AL WAQIDI menyebutkan bahwa kurir yang diutus adalah SA’AD BIN ABI WAQQASH ra  ( baca Dr. Akram Dhiya’ Al-Umuri , hal. 412 ) . Jika tuduhan terhadap AL WAQIDI sebagai seorang SYI’AH – dan karenanya semua riwayat yang berasal darinya harus ditolak – bukankah lebih pantas jika AL WAQIDI mendukung ALI BIN ABI THALIB ra sebagai kurir yang diutus daripada menyebut SA’AD BIN ABI WAQQASH ra sebagai kebenaran sejarah dan ?.  Perhatikan ! IBNU  SA’AD yang menjadi “ pendukung Abubakar Ash Shiddiq ra “ dalam riwayat-riwayatnya justru mengutip AL WAQIDI yang dituduh “ SYI’AH “. AL WAQIDI yang dituduh “ SYI’AH “ justru lebih mengutamakan SA’AD BIN ABI WAQQASH ra (- yang tidak bersangkut paut dengan SYI’AH -) sebagai kurir utusan Rasulullah saw daripada ALI BIN ABI THALIB ra ( - yang dikatakan “ panutan “ kaum Syi’ah - ) . Sebaliknya , nama ALI BIN ABI THALIB ra justru disebut oleh IBNU ISHAQ dan AS SUDDI yang bukan “ SYI’AH “.. Memang “ Ahli Sejarah “ tidak peduli dengan urusan konflik SUNNI-SYI’AH dan tidak peduli dengan metodologi Ahli Hadist yang mengutamakan “ kebenaran sejarah “ berdasarkan kacamata “ SHAHIH SANAD “ sebuah hadist. Banyak peristiwa sejarah tidak terekam oleh Ahli Hadist dengan metodologi “ keshahihan perawi “. Bagi Ahli Sejarah adalah bagaimana sejarah berlangsung menurut data yang mereka temui, tidak peduli dengan metodologi Ahli Hadist. Kebenaran sejarah juga tidak peduli dengan konflik SUNNI – SYI’AH. Sangat disesalkan sejarah telah direkayasa demi kepentingan kelompok masing-masing dan sayangnya hasil rekayasa tersebut menjadi dasar memahami hadist-hadist .
Dari uraian yang disajikan tentang AL WAQIDI dan juga IBNU SA”AD, akhirnya tetap membawa kita kepada kesimpulan bahwa tidak ada dasar sama sekali untuk meuduh AL WAQIDI sebagai MATRAKUL HADIST, PENDUSTA dan TIDAK TSIQAH. Hadist yang disampaikannya tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib  adalah hadist yang shahih, setidaknya dari segi matan , walaupun memunculkan kontroversi yang tidak pernah selesai tentang Rasulullah saw wafat dalam pelukan siapa, antara dua klaim yaitu klaim ‘Aisyah ra dan klaim Ali bin Abi Thalib ra. Tidak ada alasan untuk menunjuk AL WAQIDI sebagai biang dari “hadist-hadist dhaif, hadist palsu“ tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib seperti yang dituduhkan Ulama Hadist dan dikutip oleh Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi.

HADIST AISYAH RA TENTANG NABI SAW WAFAT DI DADA AISYAH .

Pembahasan lanjut, perlu disajikan klaim Aisyah berdasarkan hadist Shahih Bukhari (dikutip dari MUKHTASHAR SHAHIH BUKHARI oleh Nashiruddin Albani, jilid 4 halaman 226-228). Hadist dimaksud cukup panjang sehingga dikutip saja petilan yang terkait dengan wafatnya Rasulullah saw sebagai berikut :
Aisyah berkata  : “ [ Sesungguhnya di antara ni’mat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah saw ] wafat [ di rumahku dan di saat giliranku ] [ yang mana beliau berharap giliranku saat itu ] dan KEPALANYA BERADA DI BAWAH DAGUKU DAN ATAS DAGUKU ( Dalam riwayat lain : DI ANTARA DADA DAN LEHERKU , dan Allah membuat air liurku bercampur dengan air liur Nabi saw pada saat beliau wafat )     [ pada terakhir harinya di dunia dan awal dari hari akhirat ]
Kita juga mendapatkan hadist lain yang berisi klaim Aisyah tentang Rasulullah saw wafat di dadanya  sebagaimana tercantum dalam hadist Muslim ( jilid 3 hal. 210 ) :
Dari Aswad bin Yazid ra, katanya, banyak orang berbicara dekat Aisyah ra bahwa ‘Ali menerima wasiat dari Rasulullah saw. Lalu kata Aisyah   : “ Bilakah beliau berwasiat kepadanya ?. Padahal waktu sakit , beliau BERSANDAR KE BADANKU. Pada suatu ketika ( sewaktu beliau sakit itu ) beliau minta sebuah bejana, sesudah itu beliau rebah dan aku tidak sadar bahwa beliau telah tiada. Nah kapan beliau berwasiat kepadanya ?
Sekalipun pokok informasi hadist ini mengenai  WASIAT RASULULLAH SAW KEPADA ALI BIN ABI THALIB ra, dan Aisyah ra menyanggahnya, namun kita dapatkan informasi lain , yaitu NABI SAW BERSANDAR KE BADAN ASISYAH ra KEMUDIAN WAFAT.
Selanjutnya klaim Aisyah ra tersebut dapat kita baca dalam SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM  ( jilid 2 hal. 625 ) sebagai berikut :
Ibnu Ishaq berkata, Yahya bin Abbad bin Abdullah bin Az Zubair berkata kepadaku dari ayahnya, ABBAD, yang berkata : “ Aku mendengar Aisyah ra berkata : ‘ Rasulullah wafat DI ANTARA PELUKANKU dan pada hari giliranku. Beliau tidak pernah mendzalimi siapapun. Di antara kebodohanku karena masih muda belia bahwa RASULULLAH SAW WAFAT DI PANGKUANKU, kemudian aku meletakkan kepala Rasulullah saw  di atas bantal. Aku menepuk dada dan memukul wajahku bersama wanita-wanita lain.
Semua hadist yang berisi klaim Aisyah ra ini adalah pengakuan Aisyah ra sendiri, bukan hadist yang diceritakan orang lain tentang Rasulullah saw wafat dalam pelukannya. Perhatikan kalimat-kalimat hadist tersebut : “ …. Aisyah ra berkata :  ‘ Rasulullah wafat DI ANTARA PELUKANKU dan ….“; “ …kata Aisyah  : “ Bilakah beliau berwasiat kepadanya ? Padahal waktu sakit, beliau BERSANDAR KE BADANKU …..“ ; “ …Aisyah berkata  : “ … dan KEPALANYA BERADA DI BAWAH DAGUKU DAN ATAS DAGUKU  …. “ . Memahami hadist ini yang hanya diceritakan oleh Aisyah ra , rupanya pada saat itu, di kamar Aisyah ra tempat Nabi saw wafat hanya ada Aisyah ra seorang diri mendampingi  Nabi saw yang tengah sakit keras dan berada dalam pelukannya. Hal ini menjadi sebab, mengapa tidak ada seorangpun yang menyajikan hadist yang memuat penglihatan mereka tentang Nabi saw dalam pelukan Aisyah ketika wafat . Lalu bagaimana klaim Ali bin Abi Thalib ra  tentang  hal    itu ?. Berikut dikutipkan satu hadist yang petilannya telah dikutip Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi sebagai salah satu hadist yang dinilai dha’if lantaran dalam perawinya ada MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI. Petilan hadist yang disajikan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dimaksud adalah :
Dikatakan kepada Ibnu Abbas ra : “ Apakah engkau melihat Rasulullah saw wafat dan kepala beliau dipangkuan seseorang ? “. Maka dia berkata : “ Ya beliau meninggal dan beliau bersandar di dada Ali  “ ……………… “.
Teks hadist yang disajikan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi ini hanyalah potongan dari riwayat lengkap dan terkutip oleh IBNU SA’AD dalam kitabnya “ THABAQAT AL KABIR “ berdasarkan riwayat dari MUHAMMAD BIN UMAR AL WAQIDI, yang bunyi lengkapnya adalah berikut  :
Aku diberitahu oleh Muhammad Ibnu Umar al- Waqidi ( yang ) mengatakan : “ Aku diceritakan oleh Sulaiman Ibnu Dawud Ibnul al-Hushaini dari ayahnya dan dari Abi Ghathafan ( yang ) berkata : ‘ Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, apakah anda melihat Rasulullah wafat dalam pangkuan seseorang ? ‘. Jawabnya, BELIAU WAFAT SEDANG DIPANGKU OLEH ALI  karena menurut Urwah Ibnu al- Zubair ( kemenakan “Aisyah ), Aisyah berkata kepadanya bahwa Rasulullah wafat dalam pangkuannya maka Ibnu Abbas menimpali : “ APAKAH ITU MASUK AKAL ? Demi Allah, BELIAU WAFAT DALAM PANGKUAN ALI yang memandikannya bersama saudaraku al- FADHAL IBNU ABBAS , sedangkan al-ABBAS, TIDAK HADIR “. Lebih lanjut dikatakan bahwa Rasulullah meminta kami AHL AL BAIT untuk tidak menonjolkan diri maka al-Abbas melakukannya ( dikutip dari Prof. Dr. Husein Mu’nim dalam bukunya DIRASAT FIL AL SIRAH AL NABAWIYAH, edisi terjemahan bahasa Indonesia : AL SIRAH AL NABAWIYAH , hal. 212 )

Hadist ini tidak memuat pengakuan Ali bin Abi Thalib ra melainkan kesaksian Ibnu Abbas yang menyaksikan Nabi saw wafat ketika berada dalam pangkuan Ali bin Abi Thalib ra. Jadi ada orang lain yang menyaksikan Nabi saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib ra . Berbeda dengan hadist tentang Nabi saw wafat di dada Aisyah ra, yang hanya bersumber dari Aisyah ra sendiri tanpa ada orang lain yang menyatakannya sebagai saksi . Setelah kita mendapatkan penjelasan Prof. Dr. Husein Mu’nim tentang AL WAQIDI, maka tidak ada lagi alasan untuk mendha’ifkan hadist tersebut di atas lantaran dalam sanadnya terdapat AL WAQIDI sebagai salah satu perawi yang ternyata  adalah orang yang tsiqah. Sedangkan tuduhan negatif kepadanya oleh beberapa Ulama Hadist sesungguhnya disebabkan perbedaan dalam pendekatan dan metodologi, sehingga jadilah tuduhan itu tidak lebih dari tuduhan yang tidak berdasar sama sekali.

KESAMAAN KLAIM YANG MENAKJUBKAN

Tentang Rasulullah saw wafat – entah dalam pelukan siapa -  kita mendapatkan kesamaan aspek klaim yang mencengangkan antara Ali bin Abi Thalib ra dengan Aisyah ra . Hal ini diuraikan sebagai berikut :
1.       Ali bin Abi Thalib ra mengklaim bahwa sebelum wafat, Rasulullah saw menyandar-kan badan kepada Ali . Kesaksian Ibnu Abbas , Rasulullah saw wafat di pangkuan Ali . Kalimat “menyandarkan badan kepada Ali “ dengan kalimat “ di pangkuan Ali “ merupakan dua kalimat yang bertautan untuk menggambarkan satu keadaan yaitu posisi “menyandarkan badan kepada Ali “ terjadi ketika Rasulullah saw berada dalam pangkuan Ali. Kita membayangkannya , pada saat itu Rasulullah saw berposisi duduk dalam pangkuan Ali dengan menyandarkan tubuh beliau. Ternyata hal yang sama terungkap pada klaim Aisyah yaitu Rasulullah saw wafat ketika “ beliau bersandar ke badanku  “ – “ menyandarkan beliau pada dadaku  “. Pada riwayat lain, klaim Aisyah : “Dalam pangkuanku- “  wafat di antara pelukan-ku “- “ punggungnya bersandar kepadaku “ - kepalanya berada di antara bahwa daguku dan atas daguku “ - “  Di antara dada dan leherku “- “ menyandarkan beliau ke dadaku “. Kalimat-kalimat ini juga menggambarkan posisi Rasulullah saw menjelang wafat yaitu Rasulullah saw berada dalam pangkuan Aisyah dengan menyandarkan tubuh pada Aisyah dengan posisi duduk, dan Aisyah memeluk beliau dari belakang . Tetapi gambaran dalam klaim Aisyah yang demikian terbentur dengan gambaran pada klaim lain dari Aisyah yaitu Rasulullah saw “ kepalanya berada di pahaku “- berbaring di pangkuanku “ - “ beliau memiringkan badan pada pangkuanku “ di mana gambaran ini menegaskan bahwa Rasulullah saw wafat dalam keadaan berbaring di pangkuan Aisyah , bukan dalam keadaan duduk. Berbeda dengan gambaran yang telah dikemukakan terdahulu yaitu  beliau bersandar ke badanku “ – “ menyandarkan beliau pada dadaku “. Pada riwayat lain, klaim Aisyah : “Dalam pangkuanku-“ wafat di antara pelukanku “ - “ punggungnya bersandar kepadaku “- kepalanya berada di antara bahwa daguku dan atas daguku “ - “ Di antara dada dan leherku “- “ menyandarkan beliau ke dadaku “. Perbedaan ini mengurangi tingkat reabilitas atas hadist klaim Aisyah . Sesungguhnya yang benar itu, apakah Rasulullah saw wafat dalam keadaan duduk dalam pelukan Aisyah atau wafat dalam keadaan berbaring dalam pangkuan Aisyah ( “ Rasulullah wafat dalam pangkuannya “). Perbedaan semacam itu tidak terdapat pada hadist klaim Ali .
2.      Klaim Ali bin Abi Thalib : “ Rasulullah meminta kepada Ali pada saat sedang sakit keras untuk mendo’akannya . Sedangkan Klaim Aisyah : “…aku menuntunnya untuk memohon perlindungan, lalu beliau mengangkat kepalanya menengadah ke langit ( Dalam riwayat lain : “ Jika ia merasa sakit, ia membaca dalam hatinya bacaan-bacaan al Mu’awidzat dan ia meniupkan nafasnya sendiri dan ia mengusapkannya ke tubuhnya dengan tangannya sendiri “ ). Ketika sakitnya semakin parah, aku membaca ( Dalam riwayat lain: Ia meniupkan nafasnya untuknya dengan ayat-ayat mu’awidzat dan mengusap wajahnya dengan tangannya sendiri, mengharapkan berkah dari bacaan   itu  ) …… “.
3.      Tentang air liur Nabi saw, Klaim Ali bin Abi Thalib : “ …… beliau terus berbicara denganku hingga air liur beliau membasahi diriku “. Sedangkan klaim Aisyah :“ … Allah membuat air liurku bercampur dengan air liur Nabi saw pada saat beliau    wafat ). … “.
Kesamaan aspek klaim yang detail ini, cukup mencengangkan sepertinya ada rivalitas yang telah terbangun secara kokoh antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah ra. Dan rivalitas itu dimunculkan dalam kesamaan aspek klaim tentang Nabi saw wafat di dada mereka . Hal ini mengundang kecurigaan bahwa telah terjadi manipulasi yang “ over dosis “ tentang riwayat wafatnya Nabi dalam pelukan atau dalam pangkuan siapa sedemikian rupa sehingga klaim keduanya menampilkan kesamaan aspek-aspek klain : dalam pelukan , mendo’akan dan bercampur air liur . Dengan demikian , ada dua riwayat yang berbeda sama sekali . Apakah Aisyah ra telah berdusta ?. Ataukah Abdullah bin Abbas ra bahkan Ali bin Abi Thalib telah berdusta ?. Tidak mungkin keduanya atau ketiganya berdusta dengan pernyataan klaim masing-masing. Kalau begitu siapa yang benar ?. Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi mencoba menarik kesimpulan logika melalui pernyataannya berikut :
Seandainya kita MENGALAH , TIDAK MEMBANTAH keshahihan anggapan orang-orang yang menyelisihinya maka sekarang kita lemparkan pertanyaan-pertanyaan berikut :
-       Mengapa Ali ra diam dalam masalah ini sementara dia mendengar penafian     Aisyah ra ?
-       Sesungguhnya diamnya Ali ra tidak ada makna baginya kecuali mengakui hadist Aisyah ra dikarenakan itu adalah sebuah kebenaran. Jika tidak, maka mengapa dia diam ?
Kalau demikian , jelaslah sudah kelemahan hadist-hadist yang dianggap sebagian orang itu  mutawatir, padahal ini tidak benar !
Sayang  sekali  Syaikh  Mamduh  Farhan  al – Buhairi   terlalu  tergesa – gesa  mengambil kesimpulan demikian padahal dasar “ logika “ yang dipakai masih “ kabur-kabur “. Seharusnya Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi membuktikan terlebih dahulu bahwa Ali bin Abi Thalib ra masih hidup ketika Aisyah ra memberi pernyataan yang menafikan klaim tentang Ali ra tersebut. Itu yang harus dibuktikan oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi ,  barulah pertanyaan “ logis “ diajukan. Tetapi bagaimana jika Ali bin Abi Thalib ra sudah wafat  ketika Aisyah ra menafikan klaim Ali ra tersebut ?. Tentu saja Ali bin Abi Thalib ra akan diam sekalipun dipaksa karena beliau sudah wafat sehingga tidak mungkin Ali bin Abi Thalib ra membantah penafian Aisyah ra tersebut. Kemudian bila ternyata Ali bin Abi Thalib ra masih hidup, maka tidak adanya bantahan Ali bin Abi Thalib ra tidak harus menunjukkan diamnya sebagai pengakuan kebenaran penafian Aisyah ra, yang berarti pula sebagai pengakuan atas kebohongan pernyataan tentang dirinya. Bisa jadi bantahan itu ada tetapi tidak tercatat dalam atsar sahabat. Atau bisa jadi Ali bin Abi Thalib ra tidak mau terlibat pertengkaran seperti “ kanak-kanak “ ( - istilah ANAS BIN MALIK ra ketika pendapatnya dinafikan oleh IBNU UMAR ra -) dengan Aisyah ra untuk hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan KEIMANAN, AQIDAH DAN SYARI’AT. Itulah alasannya mengapa dikatakan Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa yang benar adalah Rasulullah saw wafat di dada Aisyah padahal dasar “ logika “ yang dipakai masih “ kabur-kabur “ dengan menunjuk  diamnya Ali sebagai pengakuan Ali atas  kebenaran klaim Aisyah ra.
Penafian Aisyah ra terhadap pernyataan sahabat bukan hal yang baru dan tidak hanya terjadi pada Ali bin Abi Thalib ra. Aisyah ra pernah menafikan pernyataan Umar bin Khattab ra : “ Mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya “( Hadist Shahih Bukhari- Muslim ). Hal itu dilakukan setelah Umar bin Khattab ra wafat . Mengapa Aisyah ra tidak menafikan pernyataan Umar bin Khattab ra tersebut ketika Umar bin Khattab ra masih hidup dan saat itu berkedudukan sebagai KHALIFAH dan disapa AMIRUL MU’MININ ? Apakah Aisyah ra tidak mendengarnya ?. kita tidak tahu !. Tetapi yang pasti Aisyah ra menafikan pernyataan Umar bin Khattab ra ketika Umar bin Khattab ra  sudah wafat. Hal yang demikian bukanlah hal yang mustahil terulang pada Ali bin Abi Thalib ra. Tidak dapat dipastikan apakah penafian Aisyah ra atas pernyataan Ali bin Abi Thalib ra itu dilakukan ketika Ali bin Abi Thalib ra masih hidup ataukan sudah wafat ?. Oleh karena itu bila dasar yang dipakai dalam penarikan logika masih kabur-kabur, tidak usahlah dijadikan argumentasi pembenaran pendapat yang dianut. Artinya pernyataan “ logika “ yang menghu-bungkan “ penafian  Aisyah atas klaim Ali “ dengan “ tidak adanya catatan yang memuat sanggahan Ali atas penafian tersebut “ dari Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi untuk membenarkan Rasulullah saw wafat di dada Aisyah ra, tidak layak ditampilkan bahkan lebih patut disingkirkan dan tidak perlu diperhatikan .

SHAHIH MATAN MERUJUK PADA TRADISI .

Ketika kedua klaim – yaitu klaim Ali dan klaim Aisyah -  dinyatakan sama-sama shahih – tentu dari segi sanad hadist – maka sulit bagi kita memvonis salah satunya sebagai pernyataan yang tidak benar. Aisyah ra adalah isteri Rasulullah saw yang mendapatkan tempat khusus di hati Rasulullah saw sehingga tidak mungkin berdusta. Begitu pula dengan Ali bin Abi Thalib ra yang telah ditetapkan sebagai “ DICINTAI OLEH ALLAH DAN RASUL-NYA DAN DIA PUN MENCINTAI ALLAH DAN RASUL-NYA “ (- pernyataan Rasulullah ketika Perang Khaibar - ) tidak mungkin pula berbohong. Juga sahabat Abdullah bin Abbas yang menyaksikan Rasulullah saw dalam pelukan, tidak akan berbohong. Tetapi kita harus ingat bahwa penghimpunan hadist-hadist telah melalui rentang waktu sekitar dua ratusan tahun sesudah Rasulullah saw wafat, sebelum kita mendapatkan “ bentuk “ seperti sekarang ini. Sehingga bukanlah mustahil telah terjadi bias dalam penyampaian riwayat, sekalipun perawi-perawinya adalah tsiqah (terpercaya) apalagi kalau riwayat yang disampaikan telah diramu dengan “ suasana konflik “. Sekalipun demikian, kita bisa menelusurinya dengan mengkaji materi hadist dengan mempertanyakan kebenaran-nya tetapi bukan bermaksud menuduh yang tidak-tidak terhadap sumber riwayat. Dalam hal ini  perlu ditegaskan bahwa terlihat ada kejanggalan dalam hadist klaim Aisyah. Untuk itu terlebih dahulu, kita simak kembali hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan IBNU SA’AD  berdasarkan riwayat dari AL WAQIDI  yaitu :
Aku diberitahu oleh Muhammad Ibnu Umar al- Waqidi ( yang ) mengatakan : “ Aku diceritakan oleh Sulaiman Ibnu Dawud Ibnul al-Hushaini dari ayahnya dan dari Abi Ghathafan ( yang ) berkata : ‘ Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, apakah anda melihat Rasulullah wafat dalam pangkuan seseorang ? ‘. Jawabnya, BELIAU WAFAT SEDANG DIPANGKU OLEH ALI  karena menurut Urwah Ibnu al- Zubair ( kemenakan “Aisyah ) , Aisyah berkata kepadanya bahwa Rasulullah wafat dalam pangkuannya maka Ibnu Abbas menimpali : “ APAKAH ITU MASUK AKAL ? Demi Allah, BELIAU WAFAT DALAM PANGKUAN ALI yang memandikannya bersama saudaraku al- FADHAL IBNU ABBAS , sedangkan al-ABBAS, TIDAK HADIR “. Lebih lanjut dikatakan bahwa Rasulullah meminta kami AHL AL BAIT untuk tidak menonjolkan diri maka al-Abbas melakukannya .
Riwayat lain dari Ibn Sa’d dalam TABAQAT AL KABIR, yang tidak disebut Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi, yaitu :
Diceritakan kepada kami Muhammad ibn Umar al-Waqidi , yang mengatakan , Aku diberitahu oleh Abdallah ibn Muhammad ibn Umar ibn Ali Ibn Abi Thalib dari ayahnya berkata : “ Rasulullan meminta kepada Ali pada saat sedang sakit keras untuk men-do’akannya. Setelah mendo’akannya, beliau memintanya lagi untuk lebih mendekat “. Selanjutnya Ali menceritakan : “ Maka aku mendekat dan beliau menyandarkan diri kepadaku. Dalam keadaan itu, beliau terus berbicara denganku hingga air liur beliau membasahi diriku kemudian beliau ( ternyata ) telah pergi tatkala aku merasakan beban ( badannya ) lebih berat . Aku berteriak : “ Abbas, tolong, aku telah binasa. Kemudian al-Abbas datang dan bersama-sama membaringkan beliau “
Yang menarik perhatian dari hadist ini yaitu penafian Abdullah bin Abbas ra atas klaim Aisyah dengan mempertanyakan : “ APAKAH ITU MASUK AKAL  ? “. Banyak aspek yang dapat dihubungkan dengan sesuatu permasalahan ketika dihadapkan dengan pertanyaan “ APAKAH ITU MASUK AKAL ? “. Misalnya dengan meng-konfirmasikan terhadap fakta sains, fakta sejarah, kesesuaian dengan ayat-ayat Al Qur’an, tradisi, kultur dan sebagainya. Tampaknya aspek yang dihubungkan dengan pertanyaan Abdullah bin Abbas ra : “ APAKAH ITU MASUK AKAL ? “ atas klaim Aisyah ra adalah aspek TRADISI . Pertanyaan, bagaimana tradisi masyarakat Arab ketika melayani orang yang akan mati?. Apakah ada tradisi yang berlaku di masyarakat Arab pada masa itu – mungkin secara umum masih berlaku sampai sekarang - yaitu seorang laki-laki meninggal menghembus-kan nafas terakhirnya dalam pelukan seorang wanita, sekalipun wanita itu isterinya ?. Apakah Abu Thalib meninggal dalam pelukan seorang wanita?. Apakah Abdul Muththalib meninggal dalam pelukan seorang wanita?. Apakah para sahabat, meninggal dalam pelukan seorang wanita?. Jika di kalangan bangsa Arab terutama pada masa Rasulullah saw tidak ada tradisi yang demikian, lalu mengapa secara khusus kita harus menempatkan Rasulullah saw meninggal dalam pelukan wanita  sekalipun oleh isteri beliau sendiri ?. Klaim Aisyah tentang Rasulullah saw dalam pelukannya sebagai  sesuatu yang “ TIDAK MASUK AKAL  seperti yang dikatakan Ibnu Abbas ra dalam pandangan tradisi demikian hanya bisa dipahami dari tinjaun atas tradisi bangsa Arab. Sangat  diragukan  Aisyah ra  ada  mengklaim  seperti  itu.  Bisa  jadi ditambahkan orang di masa berikutnya dalam persaingan antara SUNNI dengan SYI’AH. Oleh karena itu , ketika menyadari klaim Aisyah ra sebagai sesuatu yang      TIDAK MASUK AKAL “ berarti hadist yang menyatakan Rasulullah saw wafat dalam pelukan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan AL WAQIDI, secara matan adalah hadist yang benar dan lebih shahih dibandingkan dengan hadist Aisyah. Oleh karena itu menjadikan Muhammad bin Umar AL WAQIDI sebagai figur yang ditolak hadisnya adalah sesuatu yang tidak berdasar .

PENUTUP

Dari pembahasan yang disajikan, nyatalah menolak hadist tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali bin Abi Thalib, lantaran berasal dari perawi AL WAQIDI dengan tuduhan yang tidak berdasar  ( MATRUKUL HADIST, TIDAK TSIQAH , PENDUSTA, HADIST DHA’IF dan sebagainya ) merupakan satu ketidak-patutan . Penolakan yang ditunjukkan Syaikh Mamduh Farhan al- Buhairi atas hadist-hadist tentang Rasulullah saw wafat di dada Ali Bin Abi Thalib, sangat lemah.  Sebaliknya, hadist Aisyah yang berisi pengakuan diri Aisyah sendiri, bisa jadi shahih dari segi sanad tetapi dari segi matan, sangat diragukan karena dimungkinkan sangat berlawanan dengan tradisi yang ada, yaitu ketika tidak biasanya seorang laki-laki Arab wafat dalam pelukan wanita, lalu tiba-tiba Nabi Muhammad saw wafat dalam pelukan wanita . Satu hal yang harus diingat oleh kita semua, masalah Rasulullah saw wafat dalam pelukan Ali bin Abi Thalib ra atau wafat dalam pelukan isteri yang paling disayangi - Aisyah ra  -adalah masalah sejarah, tidak berkait dengan aqidah dan syari’at. Kebenaran sejarah tidak hanya ditentukan oleh Ahli Hadist dengan metodologi “ SHAHIH SANAD “. Diyakini, banyak peristiwa sejarah yang tidak terekam oleh Ahli Hadist. Alangkah anehnya jika kita harus mengatakan sebuah peristiwa sejarah adalah palsu lantaran tidak disebut oleh Ahli Hadist dengan metodologi “ SHAHIH SANAD “ padahal peristiwa itu benar-benar terjadi, yang justru tercatat oleh “ SEJARAWAN KUNO “ semacam IBNU ISHAQ, AL WAQIDI, IBNU SA’AD, BALADZURI, YA’KUB, AL MAS’UDI dan sebagainya. Tetapi kebenaran sejarah bukan pula sebagai sesuatu yang harus diabaikan sekalipun tidak terkait dengan masalah aqidah dan syari’at . Oleh karenanya tidak pada tempatnya jika ada upaya yang mencoba menggali kebenaran sejarah lalu dituduh dengan berbagai macam tuduhan hanya karena tidak sesuai dengan pemahaman yang dianut .