Rabu, 12 Oktober 2011

D I N A S T I K E S U L T A N A N B I M A


D I N A S T I    K E S U L T A N A N   B I M A
KEKERABATAN BIMA -GOWA -SUMBAWA


Dinasti Kesultanan Bima ternyata dibangun oleh kekerabatan antara Kesultanan Bima - Kesultanan Gowa dan Kesultanan Sumbawa, melalui hubungan perkawinan yang bersambung . Tetapi sebenarnya hubungan Bima dengan Gowa tidak dibangun pada masa Kesultanan saja melainkan telah ada jauh sebelumnya. Hubungan perkawinan yang menyebabkan masuknya unsur Gowa dalam dinasti Kesultanan Bima dimulai sejak Sultan Abdul Kahir menikahi Daeng Sikontu ipar raja Gowa Sultan Alauddin [1]) , puteri Daeng Melu , Karaeng yang berasal dari Kasuarrang , sebelah selatan Sandrabone . Kemudian dilanjutkan dengan Sultan Abil Khair Sirajuddin - putera Sultan Abdul Kahir - yang menikahi  I Pattimang Daeng Nissaking Karaeng Bontoje’ne , adik raja Gowa Sultan Hasanuddin [2] ). Lalu diteruskan Sultan Nuruddin yang menikahi Daeng Tamemang anak ( adik ? ) perempuan Karaeng Langkese , seorang bangsawan kerajaan Gowa  . Lalu Sultan Jamaluddin  menikahi Siti Fatimah Karaeng Tanatana , puteri Karaeng Bisei ( lengkapnya : Karaeng Bisei –tu – Mateyari Jakattara ) juga bangsawan kerajaan Gowa, yang menurut Dagboek Raja Goa-Tallo, berlangsung pada tanggal koversi : 5 April 1727.
Selanjutnya unsur Sumbawa mulai masuk dalam dinasti Kesultanan Bima ketika raja Bima Sultan Hasanuddin kawin dengan  Datu Tengah  , puteri Sultan Sumbawa Datu Loka dan melahirkan Sultan Alauddin . Tetapi sebenarnya dalam darah “ Datu Tengah “ inipun bercampur darah Bima-Gowa-Tallo-Sumbawa . Datu Tengah anak raja Sumbawa Datu Loka       ( Mas Bantam ) tidak lain adalah buyut raja Bima Sultan Abil Khair Sirajuddin dan juga  buyut raja Gowa Sultan Hasanuddin dan cucu Raja Tallo Taminar Lampana . Rangkaian silsilahnya demikian . Raja Bima Sultan Abil Khair Sirajuddin kawin dengan Karaeng Bontoje’ne , puteri Sultan Gowa dan melahirkan sejumlah anak antara lain Nuruddin yang kemudian menjadi Sultan Bima menggantikan Sultan Abil Khair Sirajuddin , Daeng Mami Ruma Paduka  Dompu , permaisuri raja Dompu Sultan Abdur Rasul I dan seorang puteri bernama Karaeng Bonto Mate’ne . Setelah dewasa Karaeng Bonto Mate’ne  kawin dengan Raja Tallo Tuminar Ri Lampana dan melahirkan seorang puteri bernama Siti Halimah Karaeng Tanasanga . Dan setelah dewasa , Siti Halimah Karaeng Tanasanga kawin dengan Raja Sumbawa Mas Bantam Datu Loka , dan melahirkan seorang puteri yang disapa dengan Datuk Tengah . Jelas sekali , Datuk Tengah adalah buyut ( bhs.Bima : “ Waro “ ) dari raja Bima Sultan Abil Khair Sirajuddin .
Sejak perkawinan raja Bima Sultan Hasanuddin dengan Datu Tengah , unsur Sumbawa mulai masuk dinasti Kesultanan Bima . Tetapi sebenarnya Sultan Hasanuddin juga mengawini puteri dari kerajaan Gowa Karaeng Bissampole , anak perempuan Ibrahim Daeng Sisila Karaeng Mandalle , tetapi rupanya perkawinan ini tidak memberikan turunan .
Keberadaan unsur Gowa dalam dinasti Kesultanan Bima masih dilanjutkan dengan pernikahan: Sultan Alauddin dengan Karaeng Tanasanga Mamuncaragi Mahbubah ( puteri Raja Gowa Sultan Sirajuddin dengan Karaeng Ballasari ) . Sedangkan mengenai permaisuri  Sultan Abdul Kadim ( anak Sultan Alauddin ), tidak ada informasi naskah BO mengenai asal usulnya , apakah asal Bima atau Gowa atau Sumbawa . Unsur Sumbawa mulai semakin mendominasi dalam struktur keluarga dinasti Kesultanan Bima ketika Sultan Abdul Hamid mengawini Datu Sugiri , puteri Sultan Sumbawa Datu Ungkap Sermin dan melahirkan anak : Sultan Ismail . Beberapa lama kemudian , sesudah mangkatnya Datu Sugiri , Sultan Abdul Hamid memperisteri Sultanah Sumbawa : Syafiatuddin , puteri raja Sumbawa : Sultan Harun Ar Rasyid ,  tapi  kemudian wafat setelah diturunkan dari tahta Kesultanan oleh Dewan Adat Sumbawa karena adanya upaya dominasi Sultan Bima atas kesultanan Sumbawa akibat pernikahan tersebut [3] ) . Sultanah Sumbawa : Syafiatuddin , permaisuri Sultan Abdul Hamid , meninggal di Bima . Tidak ada informasi sumber kuno Bima , apakah Sultanah Sumbawa : Syafiatuddin memberikan turunan kepada raja Bima Sultan Abdul Hamid . Dan sejak itu unsur Gowa tidak lagi masuk ke dalam dinasti Kesultanan Bima melalui perkawinan secara langsung . 
Sekalipun  unsur Sumbawa dan Gowa dalam dinasti kesultanan Bima tidak  lagi  melalui  jalur  rumpun  Ma Nggampo Donggo “ ( rumpun Sultan Bima ) , namun  ikatan itu tetap ada dan berkembang melalui rumpun ” Bilmana ” ( rumpun Raja Bicara ) . Raja Tallo yang pertama Islam yaitu  I Mallingkaan Daeng Mannyonri atau nama Islamnya : Sultan Abdullah Awalul Islam dan terkenal dengan nama Karaeng Matoaya , kawin dengan puteri raja Gowa yang memberikan anak bernama I Mangnginyurang Daeng Makkio dengan nama Islam Sultan Mazaffar Karaeng Kanjilo dan dikenal dengan nama posthumous : Tumammaliangan Ri Timoro. Tokoh ini kemudian kawin dengan anak perempuan Sultan Hasanuddin bernama  I Sekbe Daeng Matagang Karaeng Lampangan dan membuahkan seorang anak laki-laki bernama : I  Mampio  Daeng  Mannyauruk  dengan nama Islamnya: Sultan Harun Arrasyid sebagai Raja Tallo . Salah seorang anak perempuan ( atau mungkin cucu ) Raja Tallo Sultan Harun Arrasyid  ini kemudian kawin dengan  bangsawan Bima sekaligus pejabat kerajaan Bima bernama Tureli Sakuru Muhammad Hidir ( anak Raja Bicara Bima  : Abdullah Ruma Bicara Mantau Dana Timu ) dan melahirkan seorang anak laki -laki yang diberi nama  Anwar Abdul Nabi  yang kemudian juga menjadi Raja Bicara Bima . Dengan demikian melalui kelompok Raja Bicara ini unsur Gowa semakin diperkuat dalam dinasti Kesultanan Bima . Selanjutnya Raja Bicara Anwar Abdul Nabi  kawin dengan  Datu Ijo anak Datuk Nga  bangsawan Sumbawa . Sejak itu turunan di rumpun “ Bilmana “ ( rumpun Raja Bicara ) mulai ada yang bergelar  “ LALU “. Perkawinan ini memberi sejumlah anak antara lain Muhammad Yakub Ruma Ma Kapenta Wadu yang nantinya menjadi Raja Bicara Kesultanan Bima . Anak perempuan Muhammad Yakub Ruma Ma Kapenta Wadu yang bernama  Siti Hadijah Bumi Partiga menikah dengan raja Bima Sultan Ismail . Perkawinan ini kembali memadu unsur Gowa - Sumbawa dalam dinasti Kesultanan Bima sekalipun Sultan Ismail tidak menikah dengan puteri Gowa atau puteri Sumbawa . Jadi unsur Gowa dan Sumbawa dalam dinasti Kesultanan Bima diperkuat kembali melalui rumpun Raja Bicara .  Dan dominasi unsur Sumbawa semakin kuat karena ternyata berikutnya justru Sultan-Sultan Bima memperisteri puteri-puteri turunan dari Syahbandar Lalu Abdullah saudara laki-laki Datu Sugiri ( permaisuri raja Bima Sultan Abdul Hamid ) anak Sultan Sumbawa Datuk Ungkap Sermin [4]). Anak Syahbandar Lalu Abdullah bernama Lala Dendo kawin dengan Raja Bicara Muhammad Yakub Ruma Makepenta Wadu , anak Raja Bicara Anwar Abdul Nabi . Dan cucu Syahbandar Lalu Abdullah  atau anak Tureli Belo Lalu Cela bernama Siti Saleha Bumi Partiga  kawin dengan Sultan Abdullah  ( anak Sultan Ismail ) dan melahirkan anak Sultan Abdul Aziz dan Sultan Ibrahim . Kemudian Sultan Ibrahim kawin dengan  cucu Tureli Sakuru Lalu Cela bernama Siti Fatimah  ( isteri pertama ) dan Siti Aminah ( isteri kedua setelah Siti Fatimah wafat ) , dan memberi anak bernama Sultan Muhammad Salahuddin . Dan kemudian Sultan Muhammad Salahuddin mempersunting Siti Maryam , puteri Raja Bicara Muhammad Quraisy dan melahirkan sejumlah anak perempuan tanpa anak laki-laki ( - yang secara tradisi akan menjadi pewaris tahta Kesultanan Bima - )  antara lain Siti Kalisom , Siti Saleha dan lainnya . Ikatan kekerabatan dengan kerajaan Sumbawa semakin kuat ketika Siti Hadijah puteri Sultan Muhammad Salahuddin kawin dengan raja Sumbawa Sultan Muhammad Kaharuddin II dan melahirkan sejumlah anak antara lain Daeng Ewang dan Lala Nindo. Begitu pula dengan puteri-puteri Raja Bicara Muhammad Yakub Ruma Makepenta Wadu ada yang dipersunting oleh bangsawan Kesultanan Sumbawa. Bahkan ibunda dari Sultan Sumbawa Kaharuddin II yang mempersunting puteri Sultan Bima Muhammad Salahuddin, adalah cucu Raja Bicara Bima Muhammad Yakub Ruma Ma Kapenta Wadu melalui anak perempuannya : Lala Rante [5] ) . Ikatan ini semakin memperkuat hubungan kekerabatan Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa . Demikian hubungan perkawinan serta hubungan kekerabatan yang terbentuk antara Kesultanan Bima - Kesultanan Gowa dan Kesultanan Sumbawa membentuk dinasti Kesultanan Bima .


TOKOH  RAJA SUMBAWA DAN RAJA GOWA – TURUNAN  SULTAN BIMA

Ada dua tokoh  yang tidak masuk dalam dinasti Kesultanan Bima  tetapi memiliki darah Bima yaitu Amas Samawa Raja Sumbawa dan Mas Madina Raja Gowa . Untuk melengkapi khazanah informasi yang berkaitan dengan sejarah Bima , pembicaraan mengenai kedua tokoh tersebut  disajikan secara singkat berikut ini .

A.   AMAS SAMAWA

Nama “ Amas Samawa “ adalah nama sapaan Raja Sumbawa Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ,  putera Mas Bantam  Datu Loka  ( bergelar posthumous  :  Dewa Dalam Bawa ). Dalam beberapa tulisan sejarah masa sekarang , nama “ Amas Samawa “ dikaitkan sebagai bernama       Mas Madina “ , padahal “ Mas Madina “ adalah nama tokoh raja Gowa .
Amas Samawa memerintah pada tahun 1702 menggantikan ayahnya  Mas Bantam Datu Loka . Dari silsilah yang disajikan , jelas sekali Raja Sumbawa “ Amas Samawa “ ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) adalah  buyut Raja Bima Sultan Abil Khair Sirjuddin . Sebagaimana yang tertera dalam silsilah dinasti Kesultanan Bima , Mas Bantam  Datu Loka  memperisteri  Siti Halimah Karaeng Tanasanga yang tidak lain adalah cucu Raja Bima Sultan Abil Khair Sirajuddin  , yaitu hasil perkawinan Karaeng Bonto Mate’ne ( puteri Sultan Abil Khair Sirajuddin) dengan Raja Rallo Tumirang Ri Lampana ( menurut BO : Taminar Lampana ). Dari perkawinan Mas Bantam Datu Loka dengan Siti Halimah Karaeng Tanasanga ini, lahir empat orang anak yaitu : Balasawo ( Dewa Loka ling Sampar ),  Amas Samawa             ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) , Datu Tengah ( diperisteri Raja Bima Sultan Hasanuddin ) dan Datu Jareweh ( Dewa Maja Jereweh ). Amas Samawa , raja Sumbawa  mempunyai ikatan dengan kerajaan Selaparang di pulau Lombok .
Ketika kerajaan Selaparang diserang oleh kerajaan Singosari dan kerajaan Banjar Getas , maka Raja Sumbawa Amas Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) atas pengaruh menantunya Karaeng Bontolangkasa dan seorang Syekh , memutuskan untuk pergi membantu kerajaan Selaparang. Tapi  keterlibatan Amas Samawa untuk membantu kerajaan Selaparang lebih didorong oleh adanya hubungan politik dan kemungkinan kekerabatan . Ekspedisi ke Selaparang dipimpin  Amas Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) dengan panglima perangnya : Karaeng Bontolangkasa dan Datu Jareweh ( Dewa Maja Jereweh ) . Sebagai wali kerajaan Sumbawa , ditunjuk saudaranya ( adiknya ) :  Balasawo   ( Dewa Loka ling Sampar ). Kesultanan Bima pun juga mengirim bantuan pasukan menyertai pasukan ekspedisi Kesultanan Sumbawa dalam membantu kerajaan Selaparang . Pasukan kerajaan Bima  dipimpin langsung putera Sultan Hasanuddin raja Bima bernama Abdullah . Dalam perang Salaparang ini , putera raja Bima : Abdullah , tewas dalam pertempuran , sehingga bergelar : Ruma Mambora Di Salaparang  ( dalam teks lain BO : Ruma Mambora Di Ipa Bali  karena masyarakat Bima lebih mengenal Bali daripada Lombok ).  Beberapa informasi yang masih perlu ditelusuri kebenaran-nya menyebutkan kuburan Abdullah: Ruma Mambora Di Salaparang  ada di Praya Lombok Tengah, sebelah timur Masjid lama Praya dekat pasar [6]). Mengenai  tokoh  yang bernama “Abdullah “ putera raja  Bima  Sultan Hasanuddin ini , H. Manggaukang Raba  berdasarkan sumber Sumbawa mengungkapkan [7] ) :

Dengan wafatnya Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I , ponakannya Datu Dollah di Bima , ingin membalas dendam atas kematian pamannya . Ia pun berangkat ke Selaparang . Ikut pula menyusul Datu Taliwang dan Datu Jerweh . Datu Dollah wafat di sana ( karena diikat dan dibuang ke laut oleh Dea Ran Kali Kuasa , pembantu Datu Taliwang )

Nama “ Abdullah “ dalam tradisi panggilan Bima adalah  Dolla “ ( vokalisasi dari :   Dollah “ panggilan untuk “ Abdullah “ ) . Cerita kematian  Datu Dolah “ mirip dengan cerita cara kematian Amas Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I ). Sumber Sumbawa ini semakin mempertegas kekerabatan Kesultanan Bima - Kesultanan  Sumbawa .
Dalam pertempuran itu , pasukan kerajaan Selaparang dan pasukan kerajaan Sumbawa bahu membahu melawan pasukan kerajaan Singasari dan kerajaan Banjar Getas . Menurut salah satu versi , ketika perang sudah menunjukkan kemenangan pasukan gabungan kerajaan Selaparang dan  kerajaan Sumbawa ,  tiba-tiba terjadi pengkhianatan di dalam lingkungan pasukan kerajaan Sumbawa . Rupanya Balasawo ( Dewa Loka ling Sampar ) ingin menguasai tahta kerajaan Sumbawa secara tetap . Untuk itu Balasawo ( Dewa Loka ling Sampar ) mengirim satu kelompok orang kepercayaannya ke Salaparang untuk membunuh Amasa Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ). Menurut cerita , Amasa Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) adalah orang yang kebal dari segala macam senjata . Oleh karena itu untuk membunuh Amasa Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) , orang-orang kepercayaan Balasawo ( Dewa Loka ling Sampar ) tidak langsung menggunakan senjata melainkan menangkap Amasa Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) ketika sedang tidur lalu mengikat dan membuangnya ke laut . Amasa Samawa  ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) terdampar ke pantai dalam keadaan sakarat  dan ditemukan pasukannya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Amasa Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) masih sempat mengeluarkan kutukan terhadap adiknya agar dimakan api . Akhirnya Amasa Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) menghembuskan nafas terakhir dan dikuburkan di Apitaik ( Lombok Timur ) sehingga dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Datu Apitaik dan Datu Semong . Kematian Amasa Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) bagaimana pun membuat moral pasukannya tidak bulat lagi dan semangat bertempur pun mengendur sekalipun tetap bertempur melawan musuh. Pimpinan pasukan Kesultanan Sumbawa diambil alih oleh adiknya Datu Jareweh ( Dewa Maja Jereweh ) [8] ). Bantuan pasukan dari Bali untuk kerajaan Singosari yang Hindu dan kerajaan Banjar Getas , membuat pasukan kesultanan Sumbawa dan kerajaan Salaparang terdesak mundur . Datu Jareweh ( Dewa Maja Jereweh ) tewas dalam pertempuran sedangkan Karaeng Bontolangkasa menghilang, tidak diketahui kemana menyingkirnya. Sisa-sisa pasukan kerajaan Sumbawa yang selamat sebagian kembali ke Sumbawa dan sebagian kecil lagi  menetap di Lombok Timur, menjadi cikal bakal penduduk di Rempung , Rumbuk , Kabar , Jantuk dan lain-lain . Dengan kematian Amasa Samawa ( Sultan Muhammad Jalaluddin Syah ) , maka sebagai penggantinya untuk menjadi Raja Sumbawa adalah Balasawo ( Dewa Loka ling Sampar )  yang memang menginginkannya . Tetapi tidak lama kemudian , Istana Kesultanan Sumbawa terbakar  dan Balasawo ( Dewa Loka ling Sampar ) meninggal terbakar , dan dikuburkan di pemakaman di perkuburan Sampar sehingga bergelar posthumous : Dewa Loka ling Sampar . Versi cerita yang berbeda mengenai hal ini diungkapkan H. Manggaukan Raba dalam tulisannya    Fakta-Fakta Tentang Samawa “ . H. Manggaukang Raba tidak menyebutkan Amas Samawa terbunuh dengan cara diikat lalu dibuang ke laut . Melainkan yang mengalami kematian demikian adalah keponakan Amas Samawa yang tinggal di Bima bernama “ Datu Dollah “  ( menurut sejarah Bima : Abdullah  Mambora Di Salaparang , putera raja Bima Sultan Hasanuddin ) yang dilakukan Dea Ran Kali Kuasa, pembantu Datu Taliwang yang hendak menguasai tahta Kesultanan Sumbawa . Jadi , upaya perebutan tahta kerajaan Sumbawa bukan oleh Datu Balasawo melainkan oleh Datu Taliwang . Dengan demikian , penggantian Amas Samawa oleh adiknya Datu Balasawo adalah proses yang wajar . Tidak seperti yang diceritakan dalam versi pertama . Dan ketika Datu Balasawo mangkat, naiklah Datu Taliwang menjadi Sultan Sumbawa pada tahun 1726 . Pada hari Rabu 26 Ramadhan 1145 , Istana Kesultanan Sumbawa ( disebut : Istana Bala Balong ) terbakar dan Datu Taliwang ikut terbakar  [9] ) . Ini versi lain tentang perebutan tahta kesultanan Sumbawa dari Amas Samawa .
Keterlibatan kerajaan Sumbawa membantu kerajaan  Selaparang menghadapi  kerajaan Singasari dan kerajaan Banjar Getas didasarkan hubungan yang ada sebelumnya . Ketika kerajaan Gowa sudah memperluas kekuasaannya sampai ke kerajaan Lombok tahun 1640, terjadi ikatan yang erat antara Gowa dan Selaparang  Kerajaan Gowa menempatkan Pemban Mas Aji Komala , ipar Raja Selaparang Dewa Mas Pakel sebagai Raja Muda yang mewakili Gowa di Sumbawa bagian barat . Dan ketika kerajaan Gowa kalah perang menghadapi pasukan koalisi Kompeni Belanda - Bone - Buton - Ternate yang diakhiri dengan Perjanjian Bungaya tahun 1667 , dengan sendirinya semua kerajaan di wilayah selatan ( Selaparang , Sumbawa , Dompu , Bima , Tambora  ) menjadi lepas dari perlindungan kerajaan Gowa . Khusus untuk kerajaan Selaparang keadaan ini sangat mengkhawatirkan karena diincar kerajaan Karang Asam  , yang berusaha menguasai kerajaan di Lombok . Oleh karena itu Raja Selaparang Dewa Mas Pakel menyerahkan dan memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Selaparang kepada iparnya Pemban Mas Aji Komala yang menjadi Raja Muda mewakili Gowa di Sumbawa bagian barat . Kedudukan inilah yang menyebabkan terbentuknya ikatan emosional antara kerajaan Sumbawa dengan kerajaan Selaparang , sehingga ketika kerajaan Selaparang diserang oleh kerajaan Singasari dan kerajaan Banjar Getas , dengan serta merta raja Sumbawa Amas Samawa - yang tidak lain adalah buyut raja Bima Sultan Abil Khair Sirajuddin , memberikan bantuan dan dibantu pasukan kerajaan Bima .


B.   MAS MADINA
Mas Madina ( nama aslinya : Usman ) adalah Raja Gowa , anak raja Gowa Sultan Abdul Qudus  ( lengkapnya : Mappababasa Abdul Quddus Tu Wammenang ri Kalabiranna ) dari permaisuri I Taju Karaeng  Balasari  ( anak perempuan dari raja Bima Sultan Alauddin atau adik Sultanat Kemalat Syah ) . Mas Madina – menurut Dagboek Raja Gowa-Tallo – dilantik sebagai raja Gowa pada tanggal konversi 21 Desember 1753 dalam usia 6 tahun dan bergelar Batara Gowa , yang kemudian berkembang menjadi mitos Batara Gowa , simbol perlawanan Gowa terhadap Belanda pasca Perjanjian Bungaya. Keinginannya membangun kembali kejayaan kerajaan Gowa dengan menjalin hubungan baik dengan Inggeris sebagai wujud penentangannya terhadap Kompeni Belanda telah membangkitkan kemarahan Kompeni Belanda . Akibatnya Batara Gowa Mas Madina dan ibunya ( I Taju Karaeng  Balasari  ) dibuang oleh Kompeni Belanda ke Sailon pada tahun 1767 . Dan nama Mas Madina berkembang menjadi sebuah mitos . Seorang tokoh bernama I Sangkilang dan mengaku diri sebagai Batara Gowa muncul dan mampu menarik perhatian serta dukungan masyarakat Gowa . Kemudian I Sangkilang  yang mengaku diri sebagai Batara Gowa ini mengklaim diri sebagai Raja Gowa . Salah satu versi menyatakan bahwa tokoh “ I Sangkilang  adalah  Batara Gowa Mas Madina yang dibuang ke Sailon  tetapi dapat melepaskan diri dari Sailon . Tetapi versi lainnya menyatakan , Batara Gowa Mas Madina tidak pernah meninggalkan Sailon dan berkubur di Sailon . Tahun 1776 terjadi perebutan tahta kerajaan Gowa antara Batara Gowa I Sangkilang  dengan Sultan Zainuddin yang sedang memerintah kerajaan Gowa  pada waktu itu . Batara Gowa I Sangkilang  berhasil merebut tahta kerajaan Gowa . Dalam perang ini , Sultan Zainuddin dibantu Kompeni Belanda - Sindereng  dan Soppeng , sedangkan Batara Gowa I Sangkilang dibantu oleh Bone .  Menurut D.F. van Bram Morris , Gubernur Selebes dan Daerah Takluknya dalam Nota yang disampaikan kepada Pemerintah Hindia Belanda tanggal 20 Oktober 1886, kerajaan Bima ikut pula membantu Kompeni Belanda dalam perang melawan pemberontakan Batara Gowa I Sangkilang ini . Perang saudara yang terjadi cukup lama , dan pada suatu kesempatan  Batara Gowa I Sangkilang  tewas dalam pertempuran dan dikuburkan di Tassese Makassar . Dalam mitos yang berkembang Batara Gowa ini muncul berkali-kali dan wafatnya pun berkali-kali .  Kuburannya di Tassese ini merupakan kuburan yang kelima  . Kuburan yang pertama di Bontang , kuburan kedua di Bima , kuburan ketiga di Sailon , dan kuburan yang keempat di Karebosi . Kepercayaan semacam ini biasa muncul dalam mitos messianic  ( mitos Imam Mahdi ) [10] ).


P E N U T U P

Kesultanan Bima berakhir tahun 1952 dengan wafatnya Sultan Muhammad Salahuddin pada tahun 1951 . Sepanjang sejarah Kesultanan Bima menghadirkan tiga belas orang Sultan mulai dari awal abad 17 dan berakhir pada awal abad 20 dengan peran masing-masing dalam kesejarahan Bima dan Nasional. Tiga Sultan Bima , dapat disebutkan di sini memiliki peran dalam kesejarahan nasional yaitu , Sultan Abil Khair Sirajuddin , Sultan Nuruddin dan Sultan Bima yang terakhir : Muhammad Salahuddin . Peran Sultan Abil Khair Sirajuddin adalah sebagai salah seorang panglima perang Sultan Hasanuddin , raja Gowa dalam perang Gowa melawan Kompeni Belanda . Dalam perang ini Kompeni Belanda  yang bersekutu dengan Bone , Buton , Ternate dan lainnya. Sedangkan Sultan Nuruddin melanjutkan perang melawan Kompeni Belanda pasca Perjanjian Bongaya . Salah satu perang yang dijalani Sultan Nuruddin adalah  bersama-sama Syekh Yusuf dan Pangeran Arya Kusuma melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda dalam pertempuran di desa Tongilis Jawa Barat . Kemudian Sultan Muhammad Salahuddin , berperan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia di Bima dan politik di Sunda Kecil , dengan penolakan kehadiran pasukan NICA Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia dengan menumpang kehadiran pasukan sekutu , pasca kekalahan Jepang . Putera beliau , yang akrab disapa dengan ” Putera Kahir ” – Ruma Jenateke , Putera Mahkota Kesultanan Bima – bergerilya di hutan-hutan daerah Bima – menyusun dan memberi perlawanan terhadap pasukan NICA Belanda yang mau menjajah kembali daerah Bima. Sejarah para Sultan Bima ini bisa menjadi pelajaran bagi putera-putera daerah  Bima dalam menatap ke depan  untuk  membangun  daerah  Bima dalam semangat kepahlawan yang tanpa pamrih dan tanpa omong kosong .
Catatan penting untuk generasi muda , lihatlah sejarah dalam kearifan  ke masa  depan . Jangan
terpukau oleh euforia sesaat yang akan menghilangkan dan menghancurkan identitas budaya . Kehilangan dan kerugian yang dialami daerah Bima semakin menjadi-jadi ketika harus bergabung dengan pulau Lombok membentuk provinsi Nusa Tenggara Barat . Affan Gaffar berkata bahwa penggabungan pulau Sumbawa dengan pulau Lombok menjadi satu provinsi , benar-benar merupakan kecelakaan sejarah bagi sejarah masyarakat pulau Sumbawa pada umumnya dan daerah Bima secara khusus . Dalam penataan geografis untuk pengaturan tapal batas dengan propinsi Nusa Tenggara Timur , daerah Bima harus kehilangan pulau Komodo yang sebenarnya menjadi wilayahnya , yang juga seharusnya bisa menjadi daerah NTB jika dilakukan pengaturan yang benar . Wakil Nusa Tenggara Barat pada waktu itu - Lalu Munir dari Lombok Timur ( ? ) - karena ketidak-tahuannya  - dalam pertemuan yang membahas batas propinsi antara NTB dengan NTT justru melepaskan pulau Komodo itu kepada Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kekeliruan ini hanya dibayar dengan ucapan  permintaan  maaf  “ dari ” Sang Duta NTB ” yang bernama Lalu Munir kepada Siti Maryam R.Salahuddin SH , puteri Sultan Bima Muhammad Salahuddin . Sungguh sebuah “ bayaran “ yang tidak pernah bisa mengembalikan pulau Komodo kepada daerah Bima untuk selama-lamanya [11]). Demi “ Nusa Tenggara Barat “ , daerah Bima harus kehilangan pulau Komodo dan banyak hal lainnya. Pengorbanan yang cukup besar ” demi NTB ” Kisah ini harus dikenang sepanjang zaman oleh anak bangsa daerah Bima dan oleh siapapun di NTB . Sebuah kesalahan sejarah  akibat kebodohan . Jangan dilupakan !  Dan karena hal itu merupakan kecelakaan sejarah bagi masyarakat pulau Sumbawa maka keberadaan PROVINSI PULAU SUMBAWA merupakan satu keharusan . Tidak ada untungnya bagi masyarakat pulau Sumbawa dengan bergabung dalam PROVINSI NTB . Bahkan yang ada adalah kerugian dalam berbagai aspek . Apalagi kultur masyarakat pulau Sumbawa dengan masyarakat pulau Lombok sangat berbeda bahkan bertentangan secara diametrical sekalipun menganut agama yang sama. Agama hanya sekedar slogan dan tidak pernah bisa menyatukan . Orientasi kultur masyarakat pulau Sumbawa adalah ke Sulawesi – Kalimantan – Sumatera , sedangkan orientasi kultur masyarakat Lombok adalah ke Bali dan Jawa .


[1] ). Menurut Naskah BO , Daeng Sikontu adalah puteri Sultan Gowa . Tetapi sumber Gowa , menginformasikan bahwa Daeng Sikontu adalah ipar raja Gowa . Isteri raja Gowa Sultan Alauddin adalah kakak Daeng Sikontu .
[2] ). Dalam daftar silsilah Raja-Raja Dompu yang direkam M. Jauffret ( 1961 ) – begitu pula oleh Soenardhi ( 1976 ) tanpa menyebut nama -  sebagaimana yang dikutip Chambert Loir dalam bukunya “  CERITA ASAL BANGSA JIN DAN SEGALA DEWA-DEWA “ disebutkan bahwa tokoh “I Pattimang Daeng Nissaking Karaeng Bontoje’ne  “ ini adalah permaisuri Sultan Sirajuddin Manuru Bata , raja Dompu . Jelas ini merupakan kekeliruan akibat kesamaaan nama “ Sirajuddin “ pada kedua nama raja ini yaitu “ Abil Khair Sirajuddin “ raja Bima dan “ Sirajuddin Manuru Bata “ raja Dompu . Sumber Gowa sendiri - Dagboek Gowa-Tallo – menegaskan bahwa Sultan Abil Khair Sirajuddin kawin dengan  I Pattimang Daeng Nissaking Karaeng Bontoje’ne  “ .
[3] ). Perkawinan raja Bima Sultan Abdul Hamid dengan Sultanah Sumbawa : Shafiatuddin , memunculkan konflik antara Kesultanan Bima dengan Kesultanan Sumbawa . Sejumlah harta pusaka Kesultanan Sumbawa diambil dan dibawa oleh Sultan Abdul Hamid  ke Bima karena merasa Kesultanan Sumbawa berutang pada Kesultanan Bima . Konflik ini ditengahi oleh ” sahabat ” kedua Kesultanan tersebut yaitu : KOMPENI BELANDA, yang meminta agar harta pusaka Kesultanan Sumbawa dikembalikan oleh Sultan Abdul Hamid . Permintaan itu dipenuhi oleh Sultan Abdul Hamid .
[4] ). Menurut versi lain , Datu Sugiri, Lalu Abdul Hamid  dan  anak laki-laki yang kemudian menjadi Datuk Jareweh ,  adalah anak Datuk Jareweh .
[5] ).  Lala Rante , puteri  Raja Bicara Muhammad Yakub Ruma Ma Kapenta Wadu kawin dengan bangsawan kerajaan Sumbawa dan melahirkan sejumlah anak yaitu  ibu Sultan Sumbawa Kaharuddin II ,  Lalu Masir Datuk Kadhi Sumbawa , dan Datuk Ranga  Intan Dewa .
[6] ). Informasi ini berasal dari Rifai Jafar SH ( almarhum ) , yang pernah menjadi Hakim di Pengadilan Negeri Praya , sekitar tahun 1988-1990  berdasarkan tuturan beberapa tokoh setempat yang menyebutkan adanya kubur seorang putera raja dari Bima dan kubur itu  dianggap keramat  .
[7] ). H.Manggaukang Raba , Fakta-Fakta Tentang Samawa , hal. 39 .
[8] ).  Dalam catatan silsilah Kesultanan Bima ,  Datu Jareweh  ( Dewa Maja Jereweh ) adalah  ayah Sultan Sumbawa Datu Ungkap Sermin . Lalu anak-anak  Datu Ungkap  Sermin yaitu Datu Sugiri dan Lalu Abdullah  ke Bima  yang turunannya kemudian menjadi unsur dinasti Kesultanan Bima . Dikatakan dalam catatan :  Sultan Sumbawa Datu Ungkap Sermin  adalah keponakan Sultan Sumbawa Muhammad Jalaluddin yang terkenal dengan nama Amas Samawa . Dengan demikian kehadiran Datu Sugiri dan Lalu Abdullah  ke Bima menyusur balik ke Raja Bima Sultan Abil Khair Sirajuddin sebagai kakek buyutnya  .
[9] ). Hal. 39 .
[10] ).  Mukhlis , Batara Gowa - Messianisme Dalam Gerakan Sosial Di Tanah Makassar, ( Artikel ) dalam    “ Dari Babad Dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis “ hal. 63-98 ( ed. Ibrahim Alfian dkk ).
[11] ).  Tuturan lisan  Ibu  Hj. Siti Maryam R. Salahuddin ( puteri Sultan Bima Muhammad Salahuddin . Juga tururan lisan dari almarhum H. Ishaka Saleh SH , pelaku sejarah dalam terbentuknya NTB .

0 komentar:

Posting Komentar