Rabu, 19 Juni 2013

HADIST ABU HURAIRAH - SHAHIHKAH ?

ABU HURAIRAH DAN PERANG KHAIBAR


PENDAHULUAN

Khaibar berada sekitar 96 mil  sebelah utara kota Madinah ( tetapi menurut Dr. Akram Dhiya’ Al-Umuri dalam “ SHAHIH SIRAH NABAWIYAH, hal. 328 : 65 km di sebelah selatan kota Madinah ), sebuah daerah pemukiman orang-orang Yahudi masa itu dengan ketinggian 850 meter dari permukaan laut. Khaibar adalah daerah yang paling subur dan di sana terdapat lahan pertanian yang luas.
Perang Khaibar adalah perang yang dilancarkan oleh Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin terhadap orang-orang Yahudi Khaibar. Terjadi pada BULAN MUHARRAM TAHUN 7 H, setelah peritiwa PERJANJIAN HUDAIBIYAH. Ibnul Qayyim dalam kitabnya “ ZADUL MA’AD “ ( jilid 4 hal.19 ) menerangkan berdasarkan hadist dari Nafi’ bahwa PERJANJIAN HUDAIBIYAH terjadi dalam bulan DZUL QA’DAH tahun 6 H, pendapat yang disepakati Az Zuhri, Qatadah, Musa bin Uqbah, Ibnu Ishaq dan lainnya. Dan menurut Ibnul Qayyim, pendapat tersebut adalah pendapat yang benar. Sedangkan PERANG KHAIBAR terjadi pada tahun 7 H bulan Muharram. Imam Malik berpendapat PERANG KHAIBAR terjadi pada bulan Muharram tahun 6 H. Tetapi pendapat Malik bertentangan dengan mayoritas Ulama Hadist dan Sejarah. Perbedaan muncul menurut Ibnul Qayyim akibat perbedaan penentuan awal tahun Hijriyah.
Pasca PERJANJIAN HUDAIBIYAH, Rasulullah saw dan rombongan kaum Muslimin kembali ke Madinah pada bulan DZULHIJJAH tahun 6 H atau bulan terakhir tahun 6 H. Dan ketika berada di antara Makkah dan Madinah, Rasulullah saw menerima wahyu SURAH AL FATH  yang isinya bahwa Allah SWT memberi KHAIBAR kepada Rasulullah saw (ayat Al Fath 20). Lalu setelah 22 hari di Madinah, pada bulan Muharram tahun 7 H atau bulan awal tahun 7 H, Rasulullah saw bersama pasukan kaum Muslimin berangkat ke Khaibar. Ibnu Hisyam dalam kitabnya SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM  terjemahan bhs. Indonesia jilid 2, hal. 298 ) menerangkan bahwa Rasulullah saw menetap di Madinah selama bulan Dzulhijjah dan sebagian bulan Muharram, kemudian pada akhir bulan Muharram berangkat ke Khaibar. Tahun terkait dengan bulan Dzulhijjah – bulan terakhir penanggalan Hijriyah – dalam peristiwa yang diceritakan adalah tahun 6 H, sedangkan tahun terkait dengan bulan Muharram – bulan pertama penanggalan Hijriyah – dalam peristiwa yang diceritakan adalah tahun 7 H. Dengan demikian perang Khaibar berlangsung dalam bulan Muharram tahun 7 H. Tepatnya akhir Muharram tahun 7 H. Ibnu Ishaq dalam kitabnya “ SIRAH IBNU ISHAQ “ mene-gaskan bahwa PERANG KHAIBAR terjadi pada bulan Muharram tahun 7 H sedangkan Al Waqidi dalam kitabnya “ AL MAGHAZI “ ( hal. 650  - 651 ) menerangkan bahwa Rasulullah saw tiba di Madinah dari Hudaibiyah pada bulan Dzulhijjah di akhir tahun ke-6 H. Beliau tinggal di Madinah selama sisa hari-hari bulan Dzulhijjah dan sepanjang bulan Muharram kemudian menuju Khaibar pada bulan Safar pada tahun ke-7 H. Tetapi Al Waqidi menyebutkan pula ada pendapat lain yang mengatakan, bukan bulan Safar melainkan bulan Rabiul Awal. Dengan demikian PERANG KHAIBAR berlangsung pada bulan SAFAR atau RABI’UL AWAL tahun 7 H.

KERTELIBATAN ABU HURAIRAH DALAM PERANG KHAIBAR

Siapakah Abu Hurairah ? Menurut  Al Hakim  dalam kitabnya AL MUSTADRAK dan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitabnya FATHUL BARI ( - sebagaimana dikutip Drs. Badri Khaeruman M.Ag dalam bukunya : OTENTISITAS HADIS, hal. 147 -), Abu Hurairah       ( berarti : BAPAK KUCING ) bernama lengkap ( - masih diperdebatkan para ahli    sejarah - ) : ABDURRAHMAN IBNU SHAKHR AL DAUSI AL YAMANI. Dari nama tersebut diketahui ABU HURAIRAH berasal dari kabilah DAUS di Yaman. Dia masuk Islam setelah mendengar dakwah THUFAIL IBN AMR AL DAUSI, anggota bahkan tokoh kabilahnya yang pernah datang ke Makkah dan menutup telinganya dengan kapas setelah diperingatkan oleh orang-orang Quraisy agar tidak mendengar dakwah Nabi Muhammad saw. Tetapi kemudian membuka kapas penutup telinganya untuk men-dengarkan isi ucapan Nabi Muhammad saw dan akhirnya masuk Islam karena sebagai seorang yang berkemampuan penyair pasti bisa membedakan mana pernyataan syair dan mana yang bukan. Bagaimana pastisipasi Abu Hurairah dalam perang Khaibar ?
Ada dua hadist shahih dari SHAHIHAIN – tentu ada hadist shahih dari kitab-kitab hadist lainnya - yang berbicara tentang keterlibatan Abu Hurairah dalam perang Khaibar, yaitu:
1.      HADIST SHAHIH RIWAYAT MUSLIM ( dikutip dari kitab Riadhush-Shalihin ) yang berbunyi :
Abu Hurairah ra berkata, Ketika akan pergi perang Khaibar, Rasulullah berkata : “ Saya akan memberikan bendera ini kepada ORANG YANG CINTA KEPADA ALLAH DAN RASUL-ULLAH, yang Allah akan meletakkan kemenangan di tangannya “. Berkata  Umar  : “ Saya tidak pernah ingin memegang pimpinan kecuali saat itu, maka saya menunjukkan diri karena ingin dipanggil oleh Rasulullah “. Mendadak RASULULLAH MEMANGGIL ALI BIN ABI THALIB DAN MEMBERIKAN BENDERA KEPADANYA , sambil  dipesan : ” Berjalanlah dan jangan menoleh ke belakang sehingga Allah memenangkan engkau ”. Maka berjalanlah ‘Ali beberapa langkah, kemudian berhenti tetapi tidak menoleh sambil menjerit  : ” Ya Rasulullah, atas dasar apa saya memerangi  orang ? ”. Jawab Rasulullah : ‘ Perangilah mereka sehingga mengaku bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Utusan Allah. Maka apabila mereka telah mengakui yang demikian, berarti mereka telah terpelihara harta dan darah mereka kecuali dengan haknya dan perhitungan mereka terserah kepada Allah ‘. ( Riwayat Muslim, dalam Riadhush-Shalihin  ).
2.  HADIST SHAHIH RIWAYAT BUKHARI ( hadist No. 2827, tetapi hadist no.1221 dalam terjemahan Ringkasan Hadist Shahih Bukhari yang disusun oleh Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Al-Zabidy ) yang berbunyi :
Juga dari Abu Hurairah, dia berkata : “ Aku mendatangi Rasulullah saw ketika beliau di Khaibar setelah pasukan berhasil menundukkannya.  Aku berkata, ‘ Ya Rasulullah berikan aku bagian ( rampasan perang ) ‘. Kemudian sebagian orang dari Bani Sa’id bin Al-Ash berkata, ‘ Jangan berikan bagian untuk dia ya Rasulullah ‘. Kemudian berkata Abu Hurairah : ‘ Orang ini pembunuh Ibnu Qauqal ”. Lalu putera Sa’id bin Al-Ash berkata : “ Betapa kerdilnya, dia turun dari Dha’n kemudian mencela aku yang ( ketika masih kafir )  membunuh seorang Muslim. ( Bukankah dengan demikian ) Allah telah memuliakan dia  ( orang yang aku bunuh sehingga mati syahid ) dengan tanganku dan tidak menghinakan aku ( terbunuh ketika masih kafir ) dengan   tangannya “.
Hadist pertama ( Hadist Shahih Riwayat Muslim ) menceritakan kesaksian Abu Hurairah ketika dalam perang Khaibar yaitu Rasululullah saw menyerahkan bendera perang kepada Ali bin Abi Thalib. Sedangkan hadist kedua ( Hadist Shahih Bukhari ) menerang-kan keberadaan Abu Hurairah di Khaibar ketika pembagian harta rampasan perang berlangsung. Dengan demikian, kedua hadist shahih yang dikemukakan menjadi dalil sejarah tentang keterlibatan Abu Hurairah dalam perang Khaibar.
KEMUNCULAN ABU HURAIRAH DAN ROMBONGAN DAUS DI MADINAH.
Kehadiran Abu Hurairah di Madinah dari daerah Daus (Yaman ), diceritakan Al Waqidi dalam kitabnya : AL MAGHAZI ( hal. 653 ) dengan mengutip pengakuan Abu Hurairah :
Kami tiba di Madinah dan ada delapan puluh keluarga Daus. Seseorang berkata :          “ Rasulullah ada di Khaibar, beliau telah berangkat mendahului kalian “. Aku menjawab : “ Aku belum mendengar beliau berhenti  di mana pun juga tetapi aku datang untuk bergabung menuju Khaibar “. Kami melanjutkan perjalanan sampai ke Khaibar dan kami menemukan bahwa beliau sudah menaklukkan NATHA dan sedang mengepung KATIBA ; kami bertempur terus sampai Allah menaklukkannya untuk kami. 
Membaca pengakuan Abu Hurairah di atas, tidak diragukan lagi, Abu Hurairah ikut serta dalam Perang Khaibar walaupun segmen perang Khaibar dalam proses penaklukkan NATHA tidak diikuti Abu Hurairah dan rombongan Daus-nya tetapi masih mengikuti pengepungan Katiba ( “ beliau sudah menaklukkan NATHA dan sedang mengepung KATIBA ; kami bertempur terus sampai Allah menaklukkannya untuk kami “ ) yang berarti Abu Hurairah dan rombongan Daus-nya masih terlibat dalam perang perebutan benteng KATIBA. Ini berdasarkan pengakuan Abu Hurairah semata-mata.Tentu dapat diperkirakan segmen perang penaklukan berikutnya – terlepas dari sudah atau belum terlibat dalam pengepungan KATIBA – pasti diikuti Abu Hurairah dan rombongan Daus. Tetapi keterlibatan Abu Hurairah dan rombongan dalam perang lanjutan atas Khaibar sesudah pengepungan KATIBA tidak disinggung secara khusus walaupun sepintas dalam AL MAGHAZI oleh AL WAQIDI.
Diterangkan dalam MUSNAD ABU HURAIRAH karya Abdul Ghafur Abdul Haq al- Balusyi, Abu Hurairah berhijrah ke Madinah setelah masuk Islam. Tiba di Madinah pada malam terjadinya PERANG KHAIBAR dan ia shalat Shubuh sebagai shalat yang pertama kali di Madinah dengan bermakmum kepada SIBA’ BIN ‘ARFATHAH selaku wakil Rasulullah saw selama Rasulullah saw berperang di Khaibar. Al Waqidi juga menyebut SIBA BIN ‘URFATHA AL-GHIFARI sebagai wakil Rasulullah saw di Madinah selama perang Khaibar. Ibnul Qayyim dalam kitabnya “ ZADUL MA’AD “ juga menyatakan hal yang sama. Tetapi Al Waqidi mengungkap pendapat lain bahwa yang menjadi wakil Rasulullah saw di Madinah selama ekspedisi ke Khaibar adalah ABU DZAR AL GHIFFARI, dan Al Waqidi menyatakan pendapat tersebut kurang kuat ( hal. 653 ).  Ibnu Hisyam dalam kitabnya “ SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM “ berbeda pendapat dengan yang telah disebutkan karena Ibnu Hisyam menerangkan bahwa wakil Rasulullah saw di Madinah selama perang Khaibar adalah NUMALAH BIN ABDULLAH BIN AL LAITSI. Ibnu Hisyam berkata : “ Rasulullah Saw menunjuk NUMAILAH BIN ABDULLAH BIN AL LAITSI sebagai Imam sementara di Madinah “ ( hal. 298). Jadi, bukan SIBA’ BIN ‘ARFATHAH sebagaimana yang disebut oleh Al Waqidi, Ibnul Qayyim dan Abdul Ghafur Abdul Haq al- Balusyi. Mana  yang benar, masih menjadi pertanyaan.  
Lanjut kisah tentang Abu Hurairah, setelah usai shalat Shubuh bersama SIBA’ BIN ‘ARFATHAH  (versi lain : NUMALAH BIN ABDULLAH BIN AL LAITSI ), yang bertindak sebagai Imam shalat, Abu Hurairah memberi komentar di dalam hatinya atas surah yang dibaca SIBA’ BIN ‘ARFATHAH ( atau NUMALAH BIN ABDULLAH BIN AL LAITSI ) - yaitu pada raka’at pertama membaca SURAH MARYAM  dan pada raka’at kedua membaca SURAH AL MUTHAFFI-FIYN – dengan pernyataan: 
Celakalah  bagi  Abu  Fulan,  dia  memiliki  dua  takaran. Bila dia membeli, dia membeli dengan takaran yang benar, namun jika dia menjual , dia menjual dengan takaran yang kurang ( Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad , jilid 4 hal. 55 )
Siapa yang dimaksud dengan “ ABU FULAN “ oleh Abu Hurairah dalam versi Ibnul Qayyim ? Apakah SIBA’ BIN ‘ARFATHAH ( atau versi lain : NUMALAH BIN ABDULLAH BIN AL LAITSI ), wakil Rasulullah saw di Madinah yang bertindak sebagai Imam shalat ?  Al Waqidi menulis kisah dari Abu Hurairah tersebut  :
Kami tiba pada waktu shubuh dan kami shalat di belakang Siba bin ‘Urfatha. Pada raka’at pertama ia membaca SURAH MARYAM sedangkan pada raka’at kedua ia membaca surat tentang kecurangan ( AL MUTHAFFIFIN ). Ketika ia sampai pada kalimat : “ ORANG-ORANG YANG APABILA MENERIMA TAKARAN DARI ORANG LAIN MEREKA MINTA DICUKUPKAN “, aku berkata : “ Aku meninggalkan pamanku di Sara dengan dua takaran, satu takaran lebih sedikit dan satu takaran lagi, sedikit lebih banyak “.
Terlihat bahwa yang dimaksud dengan “ ABU FULAN “ tidak lain adalah diri Abu Hurairah sendiri walaupun redaksi kalimat yang tersaji berbeda satu dengan yang lain.
Kemudian Abu Hurairah mendekati SIBA’ BIN ‘ARFATHAH , yang memberinya bekal ke Khaibar. Apa motif Abu Hurairah berkunjung ke Khaibar padahal Khaibar telah ditaklukkan ? Apakah karena ingin bertemu Rasulullah saw ? Kalau hanya sekedar ingin bertemu Rasulullah saw, mengapa tidak menunggu saja di Madinah? Dan akhirnya Abu Hurairah bertemu dengan Rasulullah saw di Khaibar tetapi penaklukkan Khaibar telah usai sebelum Abu Hurairah tiba. Dengan demikian sesungguhnya Abu Hurairah TIDAK IKUT DALAM PERANG PENAKLUKKAN KHAIBAR melainkan hadir dalam pembagian harta rampasan perang Khaibar. Dengan sendirinya Abu Hurairah tidak berhak memperoleh harta rampasan perang Khaibar.

PENGEPUNGAN KHAIBAR OLEH NABI MUHAMMAD SAW DAN PASUKAN MUSLIMIN.
Menurut  Al Waqidi, urutan perjalanan penaklukkan Khaibar oleh Nabi Muhammad saw dan pasukan Muslimin adalah menyerang wilayah NATHA – wilayah SYIQQ – wilayah KATIBA – wilayah WATHIH dan wilayah SULALIM.  Di wilayah NATHA terdapat sejumlah benteng yaitu BENTENG NA’IM, BENTENG SHA’B BIN MU’ADZ, BENTENG-BENTENG LAIN DI NATHA dan terakhir BENTENG QAL’AT ZUBAIR. Di wilayah SYIQQ terdapat benteng-bentang yaitu BENTENG SUMRAN , BENTENG NIZHAR. Lalu di KATIBA terdapat BENTENG QAMUSH. Juga di WATHIH ada benteng tetapi tidak disebut namanya. Dan terakhir di SULALIM terdapat benteng-benteng IBNU ABIL HUQAIQ. Benteng pertama yang diserang adalah benteng Na’im. Pada waktu penakluk-kan benteng NA’IM, terangkat kisah penyerahan bendera oleh Nabi saw kepada Ali bin Abi Thalib. Akibat penyerbuan pasukan Muslimin, setelah terjadi pertempuran yang berakhir dengan kekalahan orang-orang Yahudi, maka orang-orang Yahudi dari benteng Na’im dan benteng Sha’b bin Mu’adz melarikan diri ke benteng Qal’at Zubair ( benteng terakhir di Natha ). Wilayah Natha di taklukkan lalu orang-orang Yahudi menyingkir ke SYIQQ dan bertahan di benteng Sumran. Mereka memberi perlawanan tetapi mengalami kekalahan. Kemudian mereka lari menyingkir ke wilayah KATIBA dan di sana terdapat benteng QAMUSH. Bertahan dan memberi perlawanan namun mengalami kekalahan, akhirnya pasukan Yahudi lari ke wilayah SYIQQ berlindung di benteng NIZHAR. Penaklukkan atas benteng Nizhar merupakan ujung kekalahan kaum Yahudi. Dan di benteng Nizhar inilah, ditawan SHAFIYAH puteri Huyyai bin Akhthab tokoh Yahudi Bani Nadhir yang diusir dari Madinah bersama seluruh Bani Nadhir. Shafiyah, kemudian dibebaskan dan diperisteri oleh Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya ekspedisi dilanjutkan ke wilayah WATHIH dan SULALIM, dan dapat merebut benteng di kedua wilayah tersebut dan menjadi dua benteng Khaibar terakhir yang direbut sehingga seluruh Khaibar ditaklukkan oleh Nabi Muhammad saw dan pasukan Muslim. Menurut Ibnu Hisyam ( jilid 2, hal. 300-301 ) dengan mengutip Ibnu Ishaq, benteng Khaibar pertama yang ditaklukkan adalah BENTENG NA’IM. Benteng kedua yang ditaklukkan adalah BENTENG AL QAMUSH dan BENTENG BANI ABU ALHUQAIQ. Sebagaimana yang telah dijelaskan, benteng Na’im merupakan salah satu benteng yang berada di wilayah Natha’ dan benteng Al Qamush berada di wilayah KATIBA. Sedangkan benteng Bani Abu Alhuqaiq berada di wilayah Sulalim.

KAJIAN TENTANG KEBENARAN ABU HURAIRAH TERLIBAT DALAM PERANG KHAIBAR

Menarik diperhatikan bahwa kedua hadist Shahih ( Bukhari dan Muslim ) yang bercerita tentang keterlibatan Abu Hurairah dalam perang Khaibar sebagaimana yang disajikan di muka, semuanya bersumber dari Abu Hurairah. Permasalahan pokok yang dipertanya-kan berdasarkan hadist-hadist shahih yang terkutip di atas adalah :
1.      Apakah benar Abu Hurairah ikut dalam perang Khaibar ataukah Abu Hurairah sama sekali tidak ikut perang Khaibar ?
2.      Apakah benar Abu Hurairah menyaksikan penyerahan bendera perang oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib, sekaligus membuktikan kebenaran bahwa Abu Hurairah ikut dalam Perang Khaibar ?
3.      Merujuk pada sanggahan Abu Hurairah atas Bani Sa’id bin Al Ash : “ Orang ini pembunuh Ibnu Qauqal timbul pertanyaan apakah Abu Hurairah mengenal putera Sa’id bin Al Ash dan mengetahui kejadian yang menyebabkan munculnya sanggah-annya ?.
Pertama, dibahas hadist pertama riwayatkan Shahih Muslim yang dikutipkan kembali sebagai berikut :
Abu Hurairah ra berkata, Ketika akan pergi perang Khaibar, Rasulullah berkata : “ Saya akan memberikan bendera ini kepada ORANG YANG CINTA KEPADA ALLAH DAN RASULULLAH, yang Allah akan meletakkan kemenangan di tangannya “. Berkata  Umar  : “ Saya tidak pernah ingin memegang pimpinan kecuali saat itu, maka saya menunjukkan diri karena ingin dipanggil oleh Rasulullah “. Mendadak RASULULLAH MEMANGGIL ALI BIN ABI THALIB DAN MEMBERIKAN BENDERA KEPADANYA , sambil  dipesan : ” Berjalanlah dan jangan menoleh ke belakang sehingga Allah memenangkan engkau ”. Maka berjalanlah ‘Ali beberapa langkah, kemudian berhenti tetapi tidak menoleh sambil menjerit  : ” Ya Rasulullah, atas dasar apa saya memerangi  orang ? ”. Jawab Rasulullah : ‘ Perangilah mereka sehingga mengaku bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Utusan Allah. Maka apabila mereka telah mengakui yang demikian, berarti mereka telah terpelihara harta dan darah mereka kecuali dengan haknya dan perhitungan mereka terserah kepada Allah ‘. ( Riwayat Muslim, dalam Riadhush-Shalihin  )
Gaya berkisah Abu Hurairah dalam teks hadist Shahih Muslim di atas mengarahkan kita kepada kesimpulan bahwa Abu Hurairah benar-benar ikut terlibat aktif dalam Perang Khaibar, menyaksikan hal-hal yang terjadi dan ikut berperang sehingga bisa menceritakan cerita berlangsungnya penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib. Jika tidak terlibat secara aktif dalam perang Khaibar, lalu bagaimana Abu Hurairah bisa menceritakan kisah penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ?  Al Waqidi ( hal. 669 ) menceritakan kisah tersebut :
Rasulullah berkata : ” Besok aku akan memberikan benderaku kepada seseorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan melalui orang itu, Allah akan menaklukkan mereka karena ia tidak akan berbalik. Berbahagialah wahai Muhammad bin Maslamah karena sesok dengan seizin Allah, perang saudaramu akan dikobarkan dan orang Yahudi akan melarikan diri.  Pagi harinya Rasulullah saw memanggil ’Ali bin Abi Thalib yang sedang menderita infeksi mata. Beliau ( Ali ) berujar  :  ” Aku tidak bisa melihat lembah dan gunung ”. Ali bercerita , Nabi mendatanginya dan berkata : ” Buka matamu ”. Dan ketika Ali membukanya, Nabi meludahi mata itu. Ali berkata : ” Aku belum pernah menderita sakit mata lagi sejak saat itu ”. Rasulullah  menyerahkan benderanya kepada Ali, berdo’a untuknya serta untuk mereka yang berada dalam kelompoknya. Belia berdo’a untuk kemenangan mereka.
Begitu pula Ibnu Hisyam ( jilid 2 hal. 304-305 ) bersumber Ibnu Ishaq menceritakan kejadian tersebut sebagai berikut :
Setelah itu, Rasulullah saw bersabda : ” Esok pagi bendera ini pasti akan aku berikan kepada ORANG YANG MENCINTAI ALLAH DAN RASULNYA. Allah memberikan pertolongan melalui kedua tangannya dan ia bukan orang yang melarikan diri ”.
Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib yang ketika itu sakit mata, kemudian meludahi matanya dan bersabda : ” Ambillah bendera ini dan majulah dengannya hingga Allah memberi kemenangan kepadamu ”. Demi Allah, ketika itu Ali bin Abi Thalib menjerit karena sakit yang dideritanya kemudian lari-lari kecil. Ketika itu aku (periwayat : Salamah bin Amr Al Akwa’ ) di belakang untuk mengikutinya hingga ia ( Ali bin Abi Thalib ) menancapkan bendera di batu yang ditumpuk di bawah benteng.
Esensi kisah versi Al Waqidi dan Ibnu Hisyam boleh dikatakan sejalan dengan versi Hadist Shahih Muslim dari Abu Hurairah walaupun dalam detail kisah ada perbedaan. Sebagaimana yang telah dikemukakan versi Hadist Shahih Muslim dari Abu Hurairah memastikan bahwa Abu Hurairah IKUT TERLIBAT DALAM PERANG KHAIBAR . Kita akan melakukan klarifikasi dengan informasi sejarah yang tercatat.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, Al Waqidi ( hal. 653 ) mengutip pengakuan Abu Hurairah :
Kami tiba di Madinah dan ada delapan puluh keluarga Daus. Seseorang berkata :          “ Rasulullah ada di Khaibar, beliau telah berangkat mendahului kalian “. Aku menjawab : “ Aku belum mendengar beliau berhenti  di mana pun juga tetapi aku datang untuk bergabung menuju Khaibar “. Kami melanjutkan perjalanan sampai ke Khaibar dan kami menemukan bahwa beliau sudah menaklukkan NATHA dan sedang mengepung KATIBA ; kami bertempur terus sampai Allah menaklukkannya untuk kami. 
Informasi di atas menunjukkan, Abu Hurairah baru tiba di Khaibar ketika NATHA telah ditaklukkan oleh Nabi Muhammad saw dan pasukan Muslim tetapi KATIBA tengah dikepung. Pertanyaan, penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib dalam rangka penyerangan benteng Khaibar yang mana? Berdasarkan rangkaian cerita Al Waqidi, menunjukkan peristiwa penyerahan bendera tersebut adalah dalam rangka penyerangan terhadap BENTENG NA’IM ( hal. 668 ) yang justru berlokasi di Natha. Hal ini juga dikatakan oleh Muhammad Husain Haikal dalam buku HAYATU MUHAMMAD ( hal. 428) yaitu lokasi benteng Na’im berada di wilayah NATHA (hal. 664). Ini berarti, ketika Abu Hurairah tiba di Khaibar sesungguhnya Natha telah ditaklukkan, yang berarti benteng Na’im telah dikuasai. Dengan demikian Abu Hurairah tidak sempat menyaksikan penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib dalam rangka menyerang benteng Na’im. Lalu bagaimana Abu Hurairah bisa berkisah tentang penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ? Dan hebatnya kisah Abu Hurairah tersebut terangkat dalam hadist Shahih Muslim. Pengisahan Abu Hurairah tentang penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib menjadi sesuatu yang janggal karena peristiwa tersebut terjadi ketika penaklukkan benteng Na’im di NATHA, yang tentu saja tidak disaksikan Abu Hurairah.
Sehubungan dengan kejanggalan demikian, hanya satu kesimpulan, Abu Hurairah telah menyajikan kisah tentang sebuah peristiwa yang tidak pernah dihadirinya. Sebenarnya tuduhan seperti itu tidak akan pernah ada andaikata saja Abu Hurairah menyajikan riwayat tersebut dengan bersandar pada cerita sahabat yang menjadi saksi peristiwa yang dikisahkan. Tapi sayang, Abu Hurairah tidak menyebutnya sehingga jadilah peristiwa yang diriwayatkan sebagai peristiwa yang disaksikan sendiri oleh Abu Hurairah  padahal  Abu  Hurairah  tidak  ikut pada  perang Khaibar, dan baru datang setelah Khaibar ditaklukkan walaupun berkata “ kami bertempur terus sampai Allah menakluk-kannya untuk kami “ pada penaklukkan KATIBA. Bagaimana Abu Hurairah bisa mengisahkannya seakan-akan menyaksikannya sendiri peristiwa tersebut ? Mesti ada sumber riwayat yang digunakan Abu Hurairah tetapi tidak mau disebut dan Abu Hurairah mengklaim menyaksikan sendiri. Jadilah sebuah kejanggalan.
Kedua, kita akan membahas hadist pertama yaitu hadist Shahih Riwayat Bukhari :
Juga dari Abu Hurairah, dia berkata : “ Aku mendatangi Rasulullah saw ketika beliau di Khaibar setelah pasukan berhasil menundukkannya.  Aku berkata, ‘ Ya Rasulullah berikan aku bagian ( rampasan perang ) ‘. Kemudian sebagian orang dari Bani Sa’id bin Al-Ash berkata, ‘ Jangan berikan bagian untuk dia ya Rasulullah ‘. Kemudian berkata Abu Hurairah : ‘ Orang ini pembunuh Ibnu Qauqal ”. Lalu putera Sa’id bin Al-Ash berkata : “ Betapa kerdilnya, dia turun dari Dha’n kemudian mencela aku yang ( ketika masih kafir )  membunuh seorang Muslim. ( Bukankah dengan demikian ) Allah telah memuliakan dia  ( orang yang aku bunuh sehingga mati syahid ) dengan tanganku dan tidak menghinakan aku ( terbunuh ketika masih kafir ) dengan   tangannya “.
Konteks penyajian hadist sebenarnya bertujuan eskatologis yaitu menceritakan dua orang yang saling membunuh dalam perang. Satu Muslim dan satunya lagi Musyrik. Si Muslim ( IBNU QAUQAL ) mati syahid di tangan si Musyrik ( PUTERA BANI SA’ID BIN AL ASH ) dan masuk surga. Sedangkan si Musyrik ( PUTERA BANI SA’ID BIN AL ASH ) kemudian masuk Islam dan dengan Keislamannya, dia juga masuk surga.
Dalam pembahasan ini, untuk menelusuri kebenaran keterlibatan Abu Hurairah dalam perang Khaibar, kita tidak berbicara aspek eskatologi dari hadist Shahih Bukhari di atas melainkan berbicara  aspek historisitas ( kesejarahan )-nya yaitu “ debat “ antara orang dari Bani Sa’id bin Al-Ash dengan Abu Hurairah yang terjadi dan terkait dengan pembagian harta rampasan perang Khaibar.  
Al Waqidi  ( hal.697 ) menerangkan bahwa : “ Rasulullah saw menunjuk Farwa bin ‘Amr al- Bayadhi untuk mengurus harta perang perang Khaibar . Farwa mengumpulkan hasil jarahan kaum Muslim di benteng-benteng Natha, Syiqq dan Katiba “. Selanjutnya dikisahkan mengenai pembagian dan penjualan harta rampasan. Dan pada saat itu Abu Hurairah dan rombongannya tiba. Al Waqidi bercerita , Kaum Daus tiba dan bersama mereka ada Abu Hurairah, Thufail bin ‘Amr dan pengikut mereka serta kelompok orang Asyja’. Rasulullah berbicara pada pengikutnya mengenai pembagian rampasan perang dengan mereka. Mereka berkata : “ Baik ya Rasulullah “. Aban bin Sa’id bin ‘Ash melihat Abu Hurairah dan berkata : “ Tetapi tidak untukmu “. Abu Hurairah berkata :        “ Ya, Rasulullah, inilah pembunuh Ibnu Qauqal “. Aban bin Sa’id berkata : “ Betapa aneh, untuk sehelai rambut biarlah jatuh pada kami melalui kedatangan seekor domba , yang menghalangiku untuk tidak membunuh seorang Muslim yang dimuliakan oleh Allah dengan tanganku dan tidak mempermalukan aku melalui tangan musuhku “.
Terlihat sepintas, kisah Abu Hurairah dalam Hadist Shahih Bukhari sama dengan yang diriwayatkan Al Waqidi. Tetapi sebenarnya ada perbedaan. Dalam riwayat Al Waqidi, munculnya perkataan Aban bin Sa’id bin ‘Ash, terlihat seperti sinisme ( “ Tetapi tidak untukmu  “ ) kepada Abu Hurairah beserta kelompok rombongan Daus yang baru tiba di Khaibar saat harta rampasan akan dibagikan . Dengan perkataan “ sinismeAban bin Sa’id bin ‘Ash yang demikian berarti dipastikan Abu Hurairah beserta kelompok rombongan Daus tidak ikut terlibat dalam perang penaklukkan Khaibar yang  menghasil-kan harta perang yang akan dan tengah dibagikan. Sedangkan riwayat dalam Hadist Shahih Bukhari bersumber dari Abu Hurairah, munculnya perkataan “ sebagian orang dari Bani Sa’id bin Al-Ash “ ( riwayat Al Waqidi : Aban bin Sa’id bin ‘Ash ) : “ Jangan berikan bagian untuk dia ya Rasulullah “ lantaran Abu Hurairah mengajukan permin- taan : “ Ya Rasulullah berikan aku bagian ( rampasan perang ) “ sekalipun mereka baru tiba di Khaibar dan tidak ikut terlibat dalam penaklukan Khaibar ( penaklukan benteng-benteng Natha, Syiqq dan Katiba ).
Dalam riwayat versi Al WAQIDI , jelas terungkap bahwa Abu Hurairah dan rombongan Daus tidak terlibat dalam penaklukkan KATIBA, sebab jika benar Abu Hurairah dan rom-bongan Daus terlibat dalam penaklukkan KATIBA lalu mengapa Aban bin Sa’id bin ‘Ash berkata “sinis “ kepada Abu Hurairah : “ Tetapi tidak untukmu “ ? Bukankah peserta perang jihad harus dan pasti mendapatkan bagiannya atas harta rampasan perang ? Ini yang dipahami Bani Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id bin Al Ash ) sehingga – dalam versi Al Waqidi - Aban bin Sa’id bin Al Ash berkata kepada Abu Hurairah : “ Tetapi tidak untukmu “. Ketidak-terlibatan Abu Hurairah dalam perang pengepungan KATIBA ter-angkat dalam paparan Al Waqidi yaitu Farwa mengumpulkan hasil jarahan kaum Muslim di benteng-benteng Natha, Syiqq dan Katiba “ dan pada saat itu Abu Hurairah dan rombongannya tiba. Ini berarti KATIBA telah ditaklukkan ketika Abu Hurairah dan rombongannya tiba di Khaibar. Lalu bagaimana Abu Hurairah bisa berkata – menurut versi Al Waqidi - : “ Kami melanjutkan perjalanan sampai ke Khaibar dan kami menemukan bahwa beliau sudah menaklukkan NATHA dan sedang mengepung KATIBA ; kami bertempur terus sampai Allah menaklukkannya untuk kami . 
Dalam versi Shahih Bukhari, ketika dalam kesempatan bertemu Rasulullah saw, Abu Hurairah meminta bagian dari harta rampasan perang, yang disanggah oleh “ seseorang dari Bani Sa’id bin Al Ash “ ( Aban bin Sa’id bin Al Ash ) dengan berkata kepada Rasulullah saw : “Jangan berikan bagian untuk dia ya Rasulullah “. Jika Abu Hurairah dan rombongan Daus ikut dalam perang Khaibar – dalam penaklukkan KATIBA – tentu sangat mengherankan jika Abu Hurairah masih juga meminta bagian rampasan perang Khaibar padahal setiap peserta perang Jihad dipastikan memperoleh bagian setelah dikurangi 1/5 bagian untuk kemashlahatan ummat dan da’wah Islam ( Allah dan Rasul-Nya – kerabat Rasul – Anak Yatim – Ibnus Sabil – orang miskin ).  Dan juga meng-herankan sikap seseorang dari Bani Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id bin Al Ash ) yang berkata kepada Rasulullah saw : “Jangan berikan bagian untuk dia ya Rasulullah “ ketika Abu Hurairah meminta bagian dari harta rampasan perang Khaibar jika memang Abu Hurairah benar-benar terlibat dalam perang Khaibar.  
Dua keadaan – Abu Hurairah meminta bagian harta rampasan perang Khaibar dan respon seseorang dari Bani Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id bin Al Ash ) – yang terlukis dalam hadist Shahih Bukahari, hanya menunjukkan bahwa sesungguhnya Abu Hurairah tidak ikut perang Khaibar. Tegasnya , Abu Hurairah dan rombongan Daus sebenarnya tidak pernah ikut perang Khaibar dan baru berada di Khaibar setelah Khaibar ditakluk-kan. Namun ketika bertemu Nabi saw, Abu Hurairah langsung meminta bagian dari harta ghanimah Khaibar - tetapi disanggah Bani Sa’id bin Al Ash (Aban bin Sa’id bin ‘Ash) - karena sadar bahwa dia dan teman-temannya tidak berhak memperolehnya. Dan akhirnya kita tahu motif kehadiran Abu Hurairah di Khaibar. Rupanya motif ekonomi menjadi pendorong bagi Abu Hurairah untuk “ memaksa “ bertemu Rasulullah saw di Khaibar dan tidak bersabar menunggunya di Madinah. Inilah yang diceritakan oleh hadist Abu Hurairah yang dibahas.
Apakah Abu Hurairah mendapatkan bagian dari harta rampasan perang Khaibar yang dimintanya? Baik Al Waqidi ataupun Ibnu Hisyam tidak bercerita sama sekali, sehingga kita ragu-ragu, apakah Abu Hurairah ada meminta harta rampasan perang Khaibar tersebut bahkan ragu-ragu apakah Abu Hurairah benar-benar hadir di Khaibar ? Menurut Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri dalam bukunya “ SHAHIH SIRAH NABAWIYAH “      ( hal. 343 ) , Abu Hurairah mendapatkan bagian dari harta ghanimah perang Khaibar yang menjadi motif kunjungannya ke Khaibar setelah direlakan oleh para peserta perang . Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri menulis :
…….. seperti Abu Hurairah ra dan sebagian orang dari kabilah Al Dausi yang mendapatkan bagian  dari rampasan Perang Khaibar ketika mereka mendatangi Nabi saw setelah perang usai dan mereka tidak ikut perang, karena orang-orang yang berhak mendapatkannya merelakan hal tersebut .
Kalimat “ Abu Hurairah ra dan sebagian orang dari kabilah Al Dausi yang mendapatkan bagian dari rampasan Perang Khaibar ……. karena orang-orang yang berhak menda-patkannya merelakan hal tersebut “ menyiratkan informasi yang tegas bahwa Abu Hurairah tidak terlibat dalam perang Khaibar. Jika Abu Hurairah benar-benar terlibat dalam perang Khaibar, apakah untuk mendapat harta rampasan perang Khaibar, Abu Hurairah membutuhkan “……. karena orang-orang yang berhak menda-patkannya merelakan hal tersebut “ ? Kesimpulan yang diperoleh dari bahasan yang disajikan adalah ABU HURAIRAH BARU TIBA DI MADINAH DARI YAMAN PADA MALAM PENAKLUKKAN KHAIBAR, dan ABU HURAIRAH BUKAN PESERTA PERANG PENAKLUKKAN KHAIBAR. Sekalipun demikian, Abu Hurairah dan rombongan Daus-nya ketika berada di Khaibar tetap mendapatkan bagian dari harta rampasan perang, bukan dalam kedudukan sebagai peserta perang ( - yang pasti mendapatkan bagiannya tanpa meminta - ) melainkan mungkin sebagai sedekah atau semacamnya. Dengan demikian, kesimpulan yang menyatakan ABU HURAIRAH IKUT SERTA PERANG PENAKLUKKAN KHAIBAR sebagaimana yang dicerna dari hadist Shahih Muslim dan hadist Shahih Bukhari , telah tertolak oleh aspek sejarah perang Khaibar itu sendiri. Tegasnya kedua hadist shahih tersebut adalah hadist dha’if dari segi matan walaupun shahih dari segi sanad.

TERBUNUHNYA IBNU QAUQAL DALAM PERANG APA ?
Permasalahan kedua dari hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya , yaitu sanggahan Abu Hurairah atas Bani Sa’id bin Al Ash  ( Aban bin Sa’id bin Al Ash  ) : “ Orang ini pembunuh Ibnu Qauqal “.
Berdasarkan catatan sejarah yang telah disebutkan, Abu Hurairah baru tiba di Madinah dari Yaman ( - pada masa berikutnya menjadi komunitas Madinah, menjadi salah satu Ahlush Shuffah yang tidur di Masjid Nabawi - ) pada malam penaklukkan Khaibar oleh Nabi saw dan pasukan Muslim. Setelah beberapa saat di Madinah, Abu Hurairah berangkat ke Khaibar untuk bertemu Rasulullah saw dan kemudian meminta bagian ghanimah perang Khaibar yang tidak pernah diikutinya tetapi disanggah oleh Aban bin Sa’id bin Ash. Menyimak isi sanggahan Abu Hurairah yang demikian memberikan kepastian bahwa Abu Hurairahsekalipun sebagai orang yang baru datang dari Yaman dan tentu saja belum mengenal para sahabat Rasulullah saw, bahkan baru melihat Rasulullah saw - mengenal Sa’id bin Al Ash dan mengetahui persis bagaimana terbunuhnya Ibnu Qauqal oleh putera Sa’id bin Al Ash dalam suatu perang antara kaum Muslimin dengan kaum musyrik Quraisy. Perang tersebut haruslah perang yang terjadi sebelum perang Khaibar. Hal ini memberikan legalitas sejarah baginya untuk “ men-cerca “ putera Sa’id bin Al-Ash yang ketika masih  kafir telah membunuh Ibnu Qauqal  dalam perang yang entah apa namanya. Tapi apakah benar demikian ? Dari mana Abu Hurairah bisa mengenal putera Bani Sa’id bin Al Ash yang menyanggahnya ketika ia       ( Abu Hurairah ) meminta bagian ghanimah kepada Rasulullah saw padahal Abu Hurairah baru datang ke Madinah setelah hampir usai penaklukkan Khaibar ? Penegasan penulis dengan “ mengetahui persis berarti Abu Hurairah ikut serta mengambil bagian dalam perang yang terjadi antara kaum Muslimin dengan kafir Quraisy - di mana dalam perang tersebut Ibnu Qauqal memperoleh syahid , dibunuh oleh Bani Sa’id bin Al Ash - sehingga Abu Hurairah tahu betul tentang apa yang terjadi dalam perang yang terjadi termasuk kesyahidan Ibnu Qauqal di tangan putera Sa’id bin Al Ash yang ketika itu masih kafir . Ini berarti, ketika terjadi perang tersebut, sesungguh-nya Abu Hurairah telah menjadi seorang Muslim sehingga memungkinkan bisa terlibat dalam perang tersebut. Tetapi kapan Abu Hurairah masuk Islam dan kapan terjadinya perang antara kaum Muslimin dengan kaum musyrik Quraisy yang menyebabkan syahidnya Ibnu Qauqal sehingga Abu Hurairah bisa menyanggah Bani Sa’id bin Al Ash dengan kata-kata : “ Orang ini pembunuh Ibnu Qauqal ?. Sejumlah pertanyaan muncul melihat kejanggalan-kejanggalan ini dan kita kesulitan menjawabnya.
Kita bisa menelusuri perang yang terjadi. Sebelum terjadinya Perang Khaibar , telah terjadi beberapa perang antara kaum Muslimin dengan kaum Musyrik Arab, baik dalam skala besar ataupun skala kecil. Tetapi perang besar kaum Muslimin dengan kaun musyrik Arab SEBELUM PERANG KHAIBAR yang menyebabkan syahidnya sejumlah kaum Muslimin yang dapat dihubungkan dengan syahidnya IBNU QAUQAL cuma tiga perisiwa yaitu PERANG BADAR, PERANG UHUD dan PERANG KHANDAQ. Tetapi tidak ada diceritakan tentang syahidnya Ibnu Qauqal dalam ketiga perang tersebut. Al Waqidi dalam bukunya “ AL MAGHAZI “, Ibnu Ishak dalam bukunya “ SIRAH IBNU ISHAQ “ dan Ibnu Hisyam dalam bukunya “ SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM, begitu pula Ibnu Qayyim dalam kitabnya ” ZADUL MA’AD “,  tidak ada sama sekali menyebut syahidnya Ibnu Qauqal. Kita mencoba menelusuri pada syahid menurut Ibnu Hisyam.
Ibnu Hisyam ( jilid I , hal. 688 ) menyebut syuhada perang Badar dengan rincian sebagai berikut :
1.      Dari Bani Abdul Muththalib bin Abdul Manaf , syahid Ubaidah bin Al Harits bin Al Muththalib , dibunuh oleh Utbah bin Rabi’ah ( menurut Al Waqidi : dibunuh Syaiba bin Rabi’ah ).
2.      Dari Bani Zuhrah bin Kilab , syahid :
a.   Umair bin Abu Waqqash , saudara Sa’ad bin Abu Waqqash (menurut Al Waqidi : dibunuh oleh ‘Amr bin ‘Abd ).
b.   Dzu Asy Syimalain bin Abd Amr bin Nadhlah ( dalam versi Al Waqidi tidak tersebut melainkan disebut : ‘Umair bin ‘Abd ‘Amr , yang dibunuh oleh Abu Usamah al Jusyami ).
3.      Dari Bani Adi bin Ka’ab bin Luai , syahid :
c.   Aqil bin Al-Bujair , sekutu Bani Adi bin Ka’ab bin Luai (menurut Al Waqidi : dibunuh oleh Malik bin Zuhair al- Jusyami ).
d.   Mihya’, mantan budak Umar bin Khattab ( menurut Al Waqidi : dibunuh oleh Amir bin Hadhrami )
4.      Dari golongan ANSHAR , Bani Amr bin Auf , syahid
a.   Sa’ad bin Khaitsamah ( versi Al Waqidi : dibunuh oleh ‘Amr bin ‘Abd , dan pendapat lain : dibunuh oleh ‘Tu’aima bin Adi )
b.   Mubasysyir bin Abdul Mundzir bin Zanbar ( versi Al Waqidi : dibunuh oleh Abu Tsaur )
5.      Dari golongan ANSHAR , Bani Al Harits bin Al Khazraj , syahid : Yazid bin Al-Harits ( biasa dipanggil Ibnu Fushum ) ( versi Al Waqidi : dibunuh oleh Naufal bin Mu’awiyah ad-Dili ).
6.      Dari golongan ANSHAR , Bani Salimah , syahid : Umair bin Al-Humam ( biasa dipanggil Ibnu Fushum ) ( versi Al Waqidi : dibunuh oleh Khalid bin A’lam . Pendapat lainnya dipanah oleh Hibban bin ‘Ariqa lalu dibunuh oleh Haritsa bin Suraqah )
7.      Dari golongan ANSHAR , Bani Habib bin Abdu Haritsah bin Malik , syahid : Rafi’ bin Al-Mu’alla .( versi Al Waqidi : dibunuh oleh Ikrimah bin Abu Jahal )
8.      Dari golongan ANSHAR , Bani An Najjar , syahid : Haritsah bin Suraqah bin Al Harits. ( versi Al Waqidi : dipanah oleh Hibban atau Ibnul ‘Ariqa dan mengenai tenggorokan hingga tewas )
9.      Dari golongan ANSHAR , Bani Ghanm bin Malik bin An-Najjar , syahid :
a.   Auf bin Al Harits bin Rifa’ah bin Sawad
b.   Muawwidz bin Al Harits bin Rifa’ah bin Sawad , saudara Auf bin Al Harits bin Rifa’ah bin Sawad . ( Versi Al Waqidi , keduanya dibunuh oleh Abu Jahal ).
Versi Al Waqidi menyebut nama-nama syahid lainnya yang tidak tersebut dalam versi Ibnu Hisyam , yaitu :
1.    ‘Ashim bin Tsabit bin Abil Aqlah yang dibunuh oleh ‘Amr bin Hadhrami.
2.    Shafwan bin Baidha’ dari Bani Harits bin Fihr yang dibunuh oleh Tu’aima bin ‘Adi.
Baik versi Ibnu Hisyam maupun versi Al Waqidi menyebut keseluruhan syahid dari pihak kaum Muslimin ada empat belas orang. Tidak disebut nama “ IBNU QAUQAL “ sebagai syahid dan juga tidak disebut “ putera Bani Said bin Ash “ ( Aban bin Said bin Ash ) yang membunuhnya baik dalam versi Ibnu Hisyam atau versi Al Waqidi seperti yang disebutkan Abu Hurairah dan tercantum dalam Shahih Bukhari .
Begitu pula kaum Muslimin yang syahid dalam perang Uhud apalagi dalam perang Khandaq , tidak disebut sama sekali dalam versi Ibnu Hisyam dan  versi Al Waqidi mengenai nama “ IBNU QAUQAL “ yang syahid dan juga tidak disebut “ putera Bani Said bin Ash “ ( Aban bin Said bin Ash ) yang membunuhnya. Fakta dalam kitab sejarah kuno Islam yang demikian menunjukkan ketidak-cocokan riwayat Abu Hurairah dalam Shahih Bukhari.
Juga para penulis Sirah Nabawiyah abad modern antara lain seperti Muhammad Husain Haikal dalam bukunya “ HAYATU MUHAMMAD “ dan Dr. Akram Dhiya’ Al-Umuri dalam bukunya “ AS SIRAH AN NABAWIYAH ASH SHAHIHAH  “ serta beberapa kitab Sirah Nabi lainnya yang menjadi referensi tulisan ini, sama sekali tidak menyinggung syahidnya Ibnu Qauqal di tangan putera Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id bin Al Ash ) sebagaimana yang dikatakan Abu Hurairah. Mungkin dalam kitab-kitab Sirah lainnya seperti riwayat-riwayat dari THABARI, dan IBN SA’AD dalam ATH THABAQATUL QUBRA –nya , dan riwayat-riwayat dari penulis kuno sejarah Islam, ada mengisahkan syahidnya Ibnu Qauqal di tangan putera Sa’id bin Al Ash. Dan sayangnya kitab-kitab tersebut belum Penulis miliki. Jika ada tersebut misalnya dalam ATH THABAQATUL QUBRA dari IBN SA’AD dan kitab-kitab Sejarawan Islam kuno lainnya, tetapi mengapa para penulis Sirah Nabawiyah yang disebutkan terdahulu mengabaikan hadist Abu Hurairah di atas sebagai “ CATATAN SEJARAH “ yang penting jika yang dikatakan Abu Hurairah sebagai satu kebenaran sejarah ?. Diperlukan kajian kembali atas referensi      ( sumber rujukan ) tulisan ini, mungkin terliwat. Insya Allah jika ternyata ada, maka dengan kejujuran ilmiah, penulis harus rujuk dari pernyataan di atas.
Selanjutnya kita simak perang-perang lain selain ketiga “ PERANG BESAR “ yang berlangsung sebelum PERANG KHAIBAR  untuk menelusuri kebenaran hadist Abu Hurairah tentang Ibnu Qauqal yang dibunuh Aban bin Sa’id bin Ash. Perang-perang dimaksud yaitu PERANG QARQARAH AL KUDR – PERANG SAWIQ – PERANG  DZI AMAR – PERANG BAHRAAN – PERANG AL QARADAH, semuanya terjadi pasca PERANG BADAR. Kisah-kisah yang diceritakan tentang perang-perang tersebut memastikan tidak ada diceritakan terbunuhnya Ibnu Qauqal sebagaimana terkisah dalam hadist Abu Hurairah. Begitu pula perang-perang pasca PERANG UHUD seperti PERANG BADAR YANG DIJANJIKAN – PERANG BANI MUSTHALIQ ( AL MURAISI’ ), semuanya tidak ada kisah terbunuhnya Ibnu Qauqal oleh putera Sa’id bin Al Ash. Merujuk pada fakta yang demikian, disimpulkan bahwa yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam hadistnya tersebut berisi informasi sejarah yang tidak benar. Maka dari segi matan, sekali lagi harus dikatakan kedua hadist shahih tersebut adalah hadist dha’if.

P E N U T U P

Demikian permasalahan yang terangkat dari hadist Abu Hurairah, yang diriwayatkan dalam SHAHIH MUSLIM dan SHAHIH BUKHARI terkait dengan PERANG KHAIBAR. Berangkat dari pembahasan yang disajikan, kebenaran hadist riwayat Abu Hurairah tersebut tentang keterlibatan Abu Hurairah dalam perang Khaibar, sangatlah  diragukan. Abu Hurairah selaku sumber riwayat tidak mengisahkan jalannya perang Khaibar tetapi mengedepankan kisah kehadirannya di Khaibar yang telah ditaklukkan dan permintaan-nya untuk memperoleh ghanimah perang Khaibar serta sanggah menyanggahnya dengan putera Bani Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id bin Al Ash ). Tetapi sayangnya Imam Bukhari memasukkan hadist Abu Hurairah dalam kumpulan hadist shahihnya lebih berfokus pada aspek eskatologis tentang dua orang – Muslim dan Kafir - yang sama-sama masuk surga karena si Muslim syahid oleh si Kafir dan si Kafir kemudian masuk Islam. Sedangkan kelemahan kandungan dalam aspek kesejarahan dari pernyataan yang disajikan Abu Hurairah, diabaikan. Sedangkan Imam Muslim memuat riwayat Abu Hurairah tersebut hanya dalam aspek semangat perjuangan Islam dalam penegakan TAUHID, tanpa memperhatikan aspek kesejarahan dari riwayat Abu Hurairah tersebut.
Tentu akan ada apologi membela Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa keduanya tidak mungkin tidak tahu kedha’ifan hadist-hadist yang dibicarakan lalu memasukkan hadist-hadist yang dikatakan dha’if itu dalam kitab shahihnya. Pernyataan semacam ini hanya terkait dengan sanad hadist tetapi menutup mata dari segi matan yang terkait dengan kesejarahan. Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah manusia biasa, bukan Tuhan, bukan Malaikat dan bukan Nabi. Sebagai manusia, tentu keduanya pasti memiliki kelemahan dalam menalar hadist-hadist yang diterima karena berfokus pada sanad hadist. Penelitian-penelitian modern menunjukkan sejumlah hadist dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah hadist yang lemah bahkan tidak masuk akal dari segi matan hadist. Mematok Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai yang tidak pernah salah dalam sajian hadist-hadist, sesungguhnya telah menempatkan keduanya sebagai MANUSIA MA’SHUM, sekaligus telah MENUTUP PINTU KAJIAN ATAS HADIST-HADIST BUKHARI-MUSLIM dan membiarkan diri menerima hadist shahih Bukhari dan Muslim  penuh pasrah tanpa kritik seakan-akan Allah SWT tidak menganugerahi kita akal. Padahal akal adalah aspek terpenting yang membedakan manusia dengan hewan.
 

 

1 komentar:

Cara Merawat Tanaman Tomat mengatakan...

ijin copas ya gan, makasih

Posting Komentar