ABU HURAIRAH DAN PERANG KHAIBAR
PENDAHULUAN
Khaibar
berada sekitar 96 mil sebelah utara kota Madinah ( tetapi menurut Dr. Akram Dhiya’ Al-Umuri dalam “
SHAHIH SIRAH NABAWIYAH, hal. 328 : 65 km di sebelah selatan kota Madinah ),
sebuah daerah pemukiman orang-orang Yahudi masa itu dengan ketinggian 850 meter dari permukaan laut.
Khaibar adalah daerah yang paling subur dan di sana
terdapat lahan pertanian yang luas.
Perang Khaibar adalah
perang yang dilancarkan oleh Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin terhadap
orang-orang Yahudi Khaibar. Terjadi pada BULAN MUHARRAM TAHUN 7
H, setelah peritiwa PERJANJIAN
HUDAIBIYAH. Ibnul Qayyim dalam kitabnya “ ZADUL MA’AD “ ( jilid 4 hal.19 )
menerangkan berdasarkan
hadist dari Nafi’ bahwa PERJANJIAN HUDAIBIYAH terjadi dalam bulan DZUL QA’DAH
tahun 6 H, pendapat
yang disepakati Az Zuhri,
Qatadah, Musa bin Uqbah, Ibnu Ishaq dan lainnya. Dan menurut Ibnul Qayyim,
pendapat tersebut adalah pendapat yang benar. Sedangkan PERANG KHAIBAR terjadi pada tahun 7 H bulan Muharram. Imam
Malik berpendapat PERANG KHAIBAR terjadi pada bulan Muharram tahun 6 H. Tetapi
pendapat Malik bertentangan dengan mayoritas Ulama Hadist dan Sejarah.
Perbedaan muncul menurut Ibnul Qayyim akibat perbedaan penentuan awal tahun
Hijriyah.
Pasca PERJANJIAN HUDAIBIYAH, Rasulullah saw dan
rombongan kaum Muslimin kembali ke Madinah pada bulan DZULHIJJAH tahun 6 H atau
bulan terakhir tahun 6 H. Dan ketika berada di antara Makkah dan Madinah,
Rasulullah saw menerima wahyu SURAH AL FATH
yang isinya bahwa Allah SWT memberi KHAIBAR kepada Rasulullah saw (ayat
Al Fath 20). Lalu setelah 22 hari di Madinah, pada bulan Muharram tahun 7 H
atau bulan awal tahun 7 H, Rasulullah saw bersama pasukan kaum Muslimin berangkat
ke Khaibar. Ibnu Hisyam dalam kitabnya SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM terjemahan bhs. Indonesia
jilid 2, hal. 298 ) menerangkan bahwa Rasulullah saw menetap di Madinah selama
bulan Dzulhijjah dan sebagian bulan Muharram, kemudian pada akhir bulan
Muharram berangkat ke Khaibar. Tahun terkait dengan bulan Dzulhijjah – bulan
terakhir penanggalan Hijriyah – dalam peristiwa yang diceritakan adalah
tahun 6 H, sedangkan tahun terkait dengan bulan Muharram – bulan pertama penanggalan
Hijriyah – dalam peristiwa yang diceritakan adalah tahun 7 H. Dengan
demikian perang Khaibar berlangsung dalam bulan Muharram tahun 7 H. Tepatnya
akhir Muharram tahun 7 H. Ibnu Ishaq dalam kitabnya “ SIRAH IBNU ISHAQ “ mene-gaskan
bahwa PERANG KHAIBAR terjadi pada bulan Muharram tahun 7 H sedangkan Al Waqidi
dalam kitabnya “ AL MAGHAZI “ ( hal. 650
- 651 ) menerangkan bahwa Rasulullah saw tiba di Madinah dari Hudaibiyah
pada bulan Dzulhijjah di akhir tahun ke-6 H. Beliau tinggal di Madinah selama
sisa hari-hari bulan Dzulhijjah dan sepanjang bulan Muharram kemudian menuju
Khaibar pada bulan Safar pada tahun ke-7 H. Tetapi Al Waqidi menyebutkan pula
ada pendapat lain yang mengatakan, bukan bulan Safar melainkan bulan Rabiul
Awal. Dengan demikian PERANG KHAIBAR berlangsung pada bulan SAFAR atau RABI’UL
AWAL tahun 7 H.
KERTELIBATAN ABU
HURAIRAH DALAM PERANG KHAIBAR
Siapakah
Abu Hurairah ? Menurut Al
Hakim dalam kitabnya AL MUSTADRAK dan Ibnu Hajar Al Asqalani
dalam kitabnya FATHUL BARI ( - sebagaimana
dikutip Drs. Badri Khaeruman M.Ag dalam bukunya : OTENTISITAS HADIS, hal. 147
-), Abu Hurairah (
berarti : BAPAK KUCING ) bernama lengkap ( - masih diperdebatkan para ahli sejarah
- ) :
ABDURRAHMAN IBNU SHAKHR AL DAUSI AL YAMANI. Dari
nama tersebut diketahui ABU HURAIRAH berasal dari kabilah DAUS di Yaman. Dia
masuk Islam setelah mendengar dakwah THUFAIL IBN AMR AL DAUSI, anggota bahkan
tokoh kabilahnya yang pernah datang ke Makkah dan menutup telinganya dengan
kapas setelah diperingatkan oleh orang-orang Quraisy agar tidak mendengar
dakwah Nabi Muhammad saw. Tetapi kemudian membuka kapas penutup telinganya
untuk men-dengarkan isi ucapan Nabi Muhammad saw dan akhirnya masuk Islam
karena sebagai seorang yang berkemampuan penyair pasti bisa membedakan mana
pernyataan syair dan mana yang bukan. Bagaimana pastisipasi Abu Hurairah dalam
perang Khaibar ?
Ada dua hadist shahih dari SHAHIHAIN – tentu ada hadist shahih dari kitab-kitab
hadist lainnya - yang berbicara tentang keterlibatan Abu Hurairah dalam
perang Khaibar, yaitu:
1. HADIST SHAHIH RIWAYAT MUSLIM ( dikutip dari kitab Riadhush-Shalihin ) yang berbunyi :
Abu Hurairah ra
berkata, Ketika akan pergi perang Khaibar, Rasulullah berkata : “ Saya akan
memberikan bendera ini kepada ORANG YANG CINTA KEPADA ALLAH DAN RASUL-ULLAH,
yang Allah akan meletakkan kemenangan di tangannya “. Berkata Umar :
“ Saya tidak pernah ingin memegang pimpinan kecuali saat itu, maka saya
menunjukkan diri karena ingin dipanggil oleh Rasulullah “. Mendadak RASULULLAH MEMANGGIL ALI BIN ABI THALIB DAN
MEMBERIKAN BENDERA KEPADANYA , sambil
dipesan : ” Berjalanlah dan jangan menoleh ke belakang sehingga Allah
memenangkan engkau ”. Maka berjalanlah ‘Ali beberapa langkah, kemudian berhenti
tetapi tidak menoleh sambil menjerit : ”
Ya Rasulullah, atas dasar apa saya memerangi
orang ? ”. Jawab Rasulullah : ‘ Perangilah mereka sehingga mengaku bahwa
tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Utusan Allah. Maka apabila mereka telah
mengakui yang demikian, berarti mereka telah terpelihara harta dan darah mereka
kecuali dengan haknya dan perhitungan mereka terserah kepada Allah ‘. ( Riwayat
Muslim, dalam Riadhush-Shalihin ).
2. HADIST SHAHIH RIWAYAT BUKHARI
( hadist No. 2827, tetapi hadist no.1221 dalam terjemahan Ringkasan
Hadist Shahih Bukhari yang disusun oleh Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif
Al-Zabidy )
yang berbunyi :
Juga dari Abu
Hurairah, dia berkata : “ Aku mendatangi Rasulullah saw ketika beliau di
Khaibar setelah pasukan berhasil menundukkannya. Aku
berkata, ‘ Ya
Rasulullah berikan aku bagian (
rampasan perang ) ‘. Kemudian sebagian orang dari Bani Sa’id bin Al-Ash
berkata, ‘ Jangan berikan bagian untuk dia ya Rasulullah ‘. Kemudian berkata
Abu Hurairah : ‘ Orang ini pembunuh Ibnu
Qauqal ”. Lalu putera Sa’id bin Al-Ash berkata : “ Betapa kerdilnya, dia
turun dari Dha’n kemudian mencela aku yang ( ketika masih kafir ) membunuh seorang Muslim. ( Bukankah dengan
demikian ) Allah telah memuliakan dia ( orang yang aku
bunuh sehingga mati syahid ) dengan tanganku dan tidak menghinakan aku (
terbunuh ketika masih kafir ) dengan
tangannya “.
Hadist pertama (
Hadist Shahih Riwayat Muslim ) menceritakan kesaksian Abu Hurairah ketika dalam
perang Khaibar yaitu Rasululullah saw menyerahkan bendera perang kepada Ali bin
Abi Thalib. Sedangkan hadist kedua ( Hadist Shahih Bukhari ) menerang-kan
keberadaan Abu Hurairah di Khaibar ketika pembagian harta rampasan perang
berlangsung. Dengan demikian, kedua hadist shahih yang dikemukakan menjadi
dalil sejarah tentang keterlibatan Abu Hurairah dalam perang Khaibar.
KEMUNCULAN ABU HURAIRAH DAN ROMBONGAN DAUS DI MADINAH.
Kehadiran Abu
Hurairah di Madinah dari daerah Daus (Yaman ), diceritakan Al Waqidi dalam
kitabnya : AL MAGHAZI ( hal. 653 ) dengan mengutip pengakuan Abu Hurairah :
Kami tiba di Madinah dan ada delapan puluh keluarga
Daus. Seseorang berkata : “
Rasulullah ada di Khaibar, beliau telah berangkat mendahului kalian “. Aku
menjawab : “ Aku belum mendengar beliau berhenti di mana pun juga tetapi aku datang untuk
bergabung menuju Khaibar “. Kami melanjutkan perjalanan sampai ke Khaibar dan
kami menemukan bahwa beliau sudah menaklukkan NATHA dan sedang mengepung KATIBA
; kami bertempur terus sampai Allah
menaklukkannya untuk kami.
Membaca
pengakuan Abu Hurairah di atas, tidak diragukan lagi, Abu Hurairah ikut serta
dalam Perang Khaibar walaupun segmen perang Khaibar dalam proses penaklukkan
NATHA tidak diikuti Abu Hurairah dan rombongan Daus-nya tetapi masih mengikuti
pengepungan Katiba ( “ beliau sudah menaklukkan NATHA dan sedang
mengepung KATIBA ; kami bertempur terus sampai Allah menaklukkannya untuk kami
“ ) yang berarti Abu Hurairah dan rombongan Daus-nya masih terlibat dalam
perang perebutan benteng KATIBA. Ini berdasarkan pengakuan Abu Hurairah
semata-mata.Tentu dapat diperkirakan segmen perang penaklukan berikutnya – terlepas dari sudah atau belum terlibat
dalam pengepungan KATIBA – pasti diikuti Abu Hurairah dan rombongan Daus. Tetapi
keterlibatan Abu Hurairah dan rombongan dalam perang lanjutan atas Khaibar sesudah
pengepungan KATIBA tidak disinggung secara khusus walaupun sepintas dalam AL
MAGHAZI oleh AL WAQIDI.
Diterangkan
dalam MUSNAD ABU HURAIRAH karya Abdul Ghafur Abdul Haq al- Balusyi, Abu
Hurairah berhijrah ke Madinah setelah masuk Islam. Tiba di Madinah pada malam
terjadinya PERANG KHAIBAR dan ia shalat Shubuh sebagai shalat yang pertama kali
di Madinah dengan bermakmum kepada SIBA’ BIN ‘ARFATHAH selaku wakil Rasulullah
saw selama Rasulullah saw berperang di Khaibar. Al Waqidi juga menyebut SIBA
BIN ‘URFATHA AL-GHIFARI sebagai wakil Rasulullah saw di Madinah selama perang
Khaibar. Ibnul Qayyim dalam kitabnya “ ZADUL MA’AD “ juga menyatakan hal yang
sama. Tetapi Al Waqidi mengungkap pendapat lain bahwa yang menjadi wakil
Rasulullah saw di Madinah selama ekspedisi ke Khaibar adalah ABU DZAR AL
GHIFFARI, dan Al Waqidi menyatakan pendapat tersebut kurang kuat ( hal. 653
). Ibnu Hisyam dalam kitabnya “ SIRAH
NABAWIYAH IBNU HISYAM “ berbeda pendapat dengan yang telah disebutkan karena
Ibnu Hisyam menerangkan bahwa wakil Rasulullah saw di Madinah selama perang
Khaibar adalah NUMALAH BIN ABDULLAH BIN
AL LAITSI. Ibnu Hisyam berkata : “ Rasulullah Saw menunjuk NUMAILAH BIN
ABDULLAH BIN AL LAITSI sebagai Imam sementara di Madinah “ ( hal. 298).
Jadi, bukan SIBA’ BIN ‘ARFATHAH
sebagaimana yang disebut oleh Al Waqidi, Ibnul Qayyim dan Abdul Ghafur Abdul
Haq al- Balusyi. Mana yang benar, masih
menjadi pertanyaan.
Lanjut kisah tentang
Abu Hurairah, setelah usai shalat Shubuh bersama SIBA’ BIN ‘ARFATHAH (versi
lain : NUMALAH BIN ABDULLAH BIN AL
LAITSI ), yang bertindak sebagai Imam shalat, Abu Hurairah memberi komentar
di dalam hatinya atas surah yang dibaca SIBA’
BIN ‘ARFATHAH ( atau NUMALAH BIN
ABDULLAH BIN AL LAITSI ) - yaitu pada raka’at pertama membaca SURAH
MARYAM dan pada raka’at kedua membaca
SURAH AL MUTHAFFI-FIYN – dengan pernyataan:
Celakalah bagi Abu Fulan, dia
memiliki dua takaran. Bila dia membeli, dia membeli dengan
takaran yang benar, namun jika dia menjual , dia menjual dengan takaran yang
kurang ( Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad ,
jilid 4 hal. 55 )
Siapa yang dimaksud
dengan “ ABU FULAN “ oleh Abu Hurairah dalam versi Ibnul Qayyim ? Apakah SIBA’ BIN ‘ARFATHAH ( atau versi lain :
NUMALAH BIN ABDULLAH BIN AL LAITSI ),
wakil Rasulullah saw di Madinah yang bertindak sebagai Imam shalat ? Al Waqidi menulis kisah dari Abu Hurairah
tersebut :
Kami tiba pada waktu shubuh dan kami shalat di
belakang Siba bin ‘Urfatha. Pada raka’at pertama ia membaca SURAH MARYAM
sedangkan pada raka’at kedua ia membaca surat tentang kecurangan ( AL
MUTHAFFIFIN ). Ketika ia sampai pada kalimat : “ ORANG-ORANG YANG APABILA
MENERIMA TAKARAN DARI ORANG LAIN MEREKA MINTA DICUKUPKAN “, aku berkata : “ Aku
meninggalkan pamanku di Sara dengan dua takaran, satu takaran lebih sedikit dan
satu takaran lagi, sedikit lebih banyak “.
Terlihat
bahwa yang dimaksud dengan “ ABU FULAN “ tidak lain adalah diri Abu Hurairah
sendiri walaupun redaksi kalimat yang tersaji berbeda satu dengan yang lain.
Kemudian
Abu Hurairah mendekati SIBA’ BIN ‘ARFATHAH , yang memberinya bekal ke Khaibar.
Apa motif Abu Hurairah berkunjung ke Khaibar padahal Khaibar telah ditaklukkan
? Apakah karena ingin bertemu Rasulullah saw ? Kalau hanya sekedar ingin
bertemu Rasulullah saw, mengapa tidak menunggu saja di Madinah? Dan akhirnya
Abu Hurairah bertemu dengan Rasulullah saw di Khaibar tetapi penaklukkan
Khaibar telah usai sebelum Abu Hurairah tiba. Dengan demikian sesungguhnya Abu
Hurairah TIDAK IKUT DALAM PERANG PENAKLUKKAN KHAIBAR melainkan hadir dalam
pembagian harta rampasan perang Khaibar. Dengan sendirinya Abu Hurairah tidak
berhak memperoleh harta rampasan perang Khaibar.
PENGEPUNGAN KHAIBAR OLEH NABI MUHAMMAD SAW DAN PASUKAN
MUSLIMIN.
Menurut
Al Waqidi, urutan perjalanan penaklukkan
Khaibar oleh Nabi Muhammad saw dan pasukan Muslimin adalah menyerang wilayah
NATHA – wilayah SYIQQ – wilayah KATIBA – wilayah WATHIH dan wilayah
SULALIM. Di wilayah NATHA terdapat
sejumlah benteng yaitu BENTENG NA’IM, BENTENG SHA’B BIN MU’ADZ, BENTENG-BENTENG
LAIN DI NATHA dan terakhir BENTENG QAL’AT ZUBAIR. Di wilayah SYIQQ terdapat
benteng-bentang yaitu BENTENG SUMRAN , BENTENG NIZHAR. Lalu di KATIBA terdapat
BENTENG QAMUSH. Juga di WATHIH ada benteng tetapi tidak disebut namanya. Dan
terakhir di SULALIM terdapat benteng-benteng IBNU ABIL HUQAIQ. Benteng pertama
yang diserang adalah benteng Na’im. Pada waktu penakluk-kan benteng NA’IM,
terangkat kisah penyerahan bendera oleh Nabi saw kepada Ali bin Abi Thalib.
Akibat penyerbuan pasukan Muslimin, setelah terjadi pertempuran yang berakhir
dengan kekalahan orang-orang Yahudi, maka orang-orang Yahudi dari benteng Na’im
dan benteng Sha’b bin Mu’adz melarikan diri ke benteng Qal’at Zubair ( benteng
terakhir di Natha ). Wilayah Natha di taklukkan lalu orang-orang Yahudi
menyingkir ke SYIQQ dan bertahan di benteng Sumran. Mereka memberi perlawanan
tetapi mengalami kekalahan. Kemudian mereka lari menyingkir ke wilayah KATIBA
dan di sana terdapat benteng QAMUSH. Bertahan dan memberi perlawanan namun
mengalami kekalahan, akhirnya pasukan Yahudi lari ke wilayah SYIQQ berlindung
di benteng NIZHAR. Penaklukkan atas benteng Nizhar merupakan ujung kekalahan
kaum Yahudi. Dan di benteng Nizhar inilah, ditawan SHAFIYAH puteri Huyyai bin
Akhthab tokoh Yahudi Bani Nadhir yang diusir dari Madinah bersama seluruh Bani Nadhir.
Shafiyah, kemudian dibebaskan dan diperisteri oleh Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya
ekspedisi dilanjutkan ke wilayah WATHIH dan SULALIM, dan dapat merebut benteng
di kedua wilayah tersebut dan menjadi dua benteng Khaibar terakhir yang direbut
sehingga seluruh Khaibar ditaklukkan oleh Nabi Muhammad saw dan pasukan Muslim.
Menurut Ibnu Hisyam ( jilid 2, hal. 300-301 ) dengan mengutip Ibnu Ishaq,
benteng Khaibar pertama yang ditaklukkan adalah BENTENG NA’IM. Benteng kedua
yang ditaklukkan adalah BENTENG AL QAMUSH dan BENTENG BANI ABU ALHUQAIQ.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, benteng Na’im merupakan salah satu benteng
yang berada di wilayah Natha’ dan benteng Al Qamush berada di wilayah KATIBA.
Sedangkan benteng Bani Abu Alhuqaiq berada di wilayah Sulalim.
KAJIAN TENTANG KEBENARAN ABU HURAIRAH TERLIBAT DALAM
PERANG KHAIBAR
Menarik diperhatikan
bahwa kedua hadist Shahih ( Bukhari dan Muslim ) yang bercerita tentang
keterlibatan Abu Hurairah dalam perang Khaibar sebagaimana yang disajikan di
muka, semuanya bersumber dari Abu Hurairah. Permasalahan pokok yang dipertanya-kan
berdasarkan hadist-hadist shahih yang terkutip di atas adalah :
1.
Apakah benar Abu
Hurairah ikut dalam perang Khaibar ataukah Abu Hurairah sama sekali tidak ikut
perang Khaibar ?
2.
Apakah benar Abu
Hurairah menyaksikan penyerahan bendera perang oleh Rasulullah saw kepada Ali
bin Abi Thalib, sekaligus membuktikan kebenaran bahwa Abu Hurairah ikut dalam
Perang Khaibar ?
3.
Merujuk pada
sanggahan Abu Hurairah atas Bani Sa’id bin Al Ash : “ Orang ini pembunuh Ibnu Qauqal “
timbul pertanyaan apakah Abu Hurairah mengenal putera Sa’id
bin Al Ash dan mengetahui kejadian yang
menyebabkan munculnya sanggah-annya ?.
Pertama, dibahas
hadist pertama riwayatkan Shahih Muslim yang dikutipkan kembali sebagai berikut
:
Abu Hurairah ra berkata, Ketika akan pergi perang Khaibar, Rasulullah
berkata : “ Saya akan memberikan bendera ini kepada ORANG YANG CINTA KEPADA
ALLAH DAN RASULULLAH, yang Allah akan meletakkan kemenangan di tangannya “.
Berkata Umar : “ Saya tidak pernah ingin memegang pimpinan
kecuali saat itu, maka saya menunjukkan diri karena ingin dipanggil oleh
Rasulullah “. Mendadak
RASULULLAH MEMANGGIL ALI BIN ABI THALIB DAN MEMBERIKAN BENDERA KEPADANYA ,
sambil dipesan : ” Berjalanlah dan jangan
menoleh ke belakang sehingga Allah memenangkan engkau ”. Maka berjalanlah ‘Ali
beberapa langkah, kemudian berhenti tetapi tidak menoleh sambil menjerit : ” Ya Rasulullah, atas dasar apa saya
memerangi orang ? ”. Jawab Rasulullah :
‘ Perangilah mereka sehingga mengaku bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan
Muhammad Utusan Allah. Maka apabila mereka telah mengakui yang demikian,
berarti mereka telah terpelihara harta dan darah mereka kecuali dengan haknya
dan perhitungan mereka terserah kepada Allah ‘. ( Riwayat Muslim,
dalam Riadhush-Shalihin )
Gaya berkisah Abu Hurairah dalam teks hadist Shahih
Muslim di atas mengarahkan kita kepada kesimpulan bahwa Abu Hurairah
benar-benar ikut terlibat aktif dalam Perang Khaibar, menyaksikan hal-hal yang
terjadi dan ikut berperang sehingga bisa menceritakan cerita berlangsungnya
penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib. Jika tidak
terlibat secara aktif dalam perang Khaibar, lalu bagaimana Abu Hurairah bisa
menceritakan kisah penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi
Thalib ? Al Waqidi ( hal. 669 )
menceritakan kisah tersebut :
Rasulullah berkata : ” Besok aku akan memberikan benderaku kepada seseorang
yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan melalui orang itu, Allah akan menaklukkan
mereka karena ia tidak akan berbalik. Berbahagialah wahai Muhammad bin Maslamah
karena sesok dengan seizin Allah, perang saudaramu akan dikobarkan dan orang
Yahudi akan melarikan diri. Pagi harinya
Rasulullah saw memanggil ’Ali bin Abi Thalib yang sedang menderita infeksi
mata. Beliau ( Ali ) berujar : ” Aku tidak bisa melihat lembah dan gunung ”.
Ali bercerita , Nabi mendatanginya dan berkata : ” Buka matamu ”. Dan ketika
Ali membukanya, Nabi meludahi mata itu. Ali berkata : ” Aku belum pernah
menderita sakit mata lagi sejak saat itu ”. Rasulullah menyerahkan benderanya kepada Ali, berdo’a
untuknya serta untuk mereka yang berada dalam kelompoknya. Belia berdo’a untuk
kemenangan mereka.
Begitu pula Ibnu Hisyam ( jilid 2 hal. 304-305 ) bersumber
Ibnu Ishaq menceritakan kejadian tersebut sebagai berikut :
Setelah itu, Rasulullah saw bersabda : ” Esok pagi bendera
ini pasti akan aku berikan kepada ORANG YANG MENCINTAI ALLAH DAN RASULNYA.
Allah memberikan pertolongan melalui kedua tangannya dan ia bukan orang yang
melarikan diri ”.
Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib yang ketika itu sakit mata,
kemudian meludahi matanya dan bersabda : ” Ambillah bendera ini dan majulah
dengannya hingga Allah memberi kemenangan kepadamu ”. Demi Allah, ketika itu
Ali bin Abi Thalib menjerit karena sakit yang dideritanya kemudian lari-lari
kecil. Ketika itu aku (periwayat : Salamah bin Amr Al Akwa’ ) di belakang untuk
mengikutinya hingga ia ( Ali bin Abi Thalib ) menancapkan bendera di batu yang
ditumpuk di bawah benteng.
Esensi kisah versi
Al Waqidi dan Ibnu Hisyam boleh dikatakan sejalan dengan versi Hadist Shahih
Muslim dari Abu Hurairah walaupun dalam detail kisah ada perbedaan. Sebagaimana
yang telah dikemukakan versi Hadist Shahih Muslim dari Abu Hurairah memastikan
bahwa Abu Hurairah IKUT TERLIBAT DALAM PERANG KHAIBAR . Kita akan melakukan
klarifikasi dengan informasi sejarah yang tercatat.
Sebagaimana yang
telah dikemukakan, Al Waqidi ( hal. 653 ) mengutip pengakuan Abu Hurairah :
Kami tiba di Madinah dan ada delapan puluh keluarga
Daus. Seseorang berkata : “
Rasulullah ada di Khaibar, beliau telah berangkat mendahului kalian “. Aku
menjawab : “ Aku belum mendengar beliau berhenti di mana pun juga tetapi aku datang untuk bergabung
menuju Khaibar “. Kami melanjutkan perjalanan sampai ke Khaibar dan kami
menemukan bahwa beliau sudah menaklukkan NATHA
dan sedang mengepung KATIBA ; kami bertempur terus sampai Allah
menaklukkannya untuk kami.
Informasi di atas
menunjukkan, Abu Hurairah baru tiba di Khaibar ketika NATHA telah ditaklukkan
oleh Nabi Muhammad saw dan pasukan Muslim tetapi KATIBA tengah dikepung. Pertanyaan, penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada
Ali bin Abi Thalib dalam rangka penyerangan benteng Khaibar yang mana?
Berdasarkan rangkaian cerita Al Waqidi, menunjukkan peristiwa penyerahan
bendera tersebut adalah dalam rangka penyerangan terhadap BENTENG NA’IM ( hal. 668
) yang justru berlokasi di Natha. Hal ini juga dikatakan oleh Muhammad Husain
Haikal dalam buku HAYATU MUHAMMAD ( hal. 428) yaitu lokasi benteng Na’im berada
di wilayah NATHA (hal. 664). Ini berarti, ketika Abu Hurairah tiba di Khaibar
sesungguhnya Natha telah ditaklukkan, yang berarti benteng Na’im telah dikuasai.
Dengan demikian Abu Hurairah tidak sempat menyaksikan penyerahan bendera oleh
Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib dalam rangka menyerang benteng Na’im.
Lalu bagaimana Abu Hurairah bisa berkisah tentang penyerahan bendera oleh
Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ? Dan hebatnya kisah Abu Hurairah
tersebut terangkat dalam hadist Shahih Muslim. Pengisahan Abu Hurairah tentang penyerahan bendera oleh Rasulullah saw
kepada Ali bin Abi Thalib menjadi sesuatu yang janggal karena peristiwa
tersebut terjadi ketika penaklukkan benteng Na’im di NATHA, yang tentu saja
tidak disaksikan Abu Hurairah.
Sehubungan dengan
kejanggalan demikian, hanya satu kesimpulan, Abu Hurairah telah menyajikan
kisah tentang sebuah peristiwa yang tidak pernah dihadirinya. Sebenarnya
tuduhan seperti itu tidak akan pernah ada andaikata saja Abu Hurairah
menyajikan riwayat tersebut dengan bersandar pada cerita sahabat yang menjadi
saksi peristiwa yang dikisahkan. Tapi sayang, Abu Hurairah tidak menyebutnya
sehingga jadilah peristiwa yang diriwayatkan sebagai peristiwa yang disaksikan
sendiri oleh Abu Hurairah padahal Abu
Hurairah tidak ikut pada
perang Khaibar, dan baru datang setelah Khaibar ditaklukkan walaupun
berkata “ kami
bertempur terus sampai Allah menakluk-kannya untuk kami “ pada penaklukkan KATIBA. Bagaimana Abu Hurairah
bisa mengisahkannya seakan-akan menyaksikannya sendiri peristiwa tersebut ?
Mesti ada sumber riwayat yang digunakan Abu Hurairah tetapi tidak mau disebut
dan Abu Hurairah mengklaim menyaksikan sendiri. Jadilah sebuah kejanggalan.
Kedua, kita akan
membahas hadist pertama yaitu hadist Shahih Riwayat Bukhari :
Juga dari Abu
Hurairah, dia berkata : “ Aku mendatangi Rasulullah saw ketika beliau di
Khaibar setelah pasukan berhasil menundukkannya. Aku
berkata, ‘ Ya
Rasulullah berikan aku bagian (
rampasan perang ) ‘. Kemudian sebagian orang dari Bani Sa’id bin Al-Ash
berkata, ‘ Jangan berikan bagian untuk dia ya Rasulullah ‘. Kemudian berkata
Abu Hurairah : ‘ Orang ini pembunuh Ibnu
Qauqal ”. Lalu putera Sa’id bin Al-Ash berkata : “ Betapa kerdilnya, dia
turun dari Dha’n kemudian mencela aku yang ( ketika masih kafir ) membunuh seorang Muslim. ( Bukankah dengan
demikian ) Allah telah memuliakan dia ( orang yang aku
bunuh sehingga mati syahid ) dengan tanganku dan tidak menghinakan aku (
terbunuh ketika masih kafir ) dengan
tangannya “.
Konteks penyajian hadist sebenarnya bertujuan eskatologis yaitu menceritakan
dua orang yang saling membunuh dalam perang. Satu Muslim dan satunya lagi
Musyrik. Si Muslim ( IBNU QAUQAL ) mati
syahid di tangan si Musyrik ( PUTERA BANI
SA’ID BIN AL ASH ) dan masuk surga. Sedangkan si Musyrik ( PUTERA BANI SA’ID BIN AL ASH ) kemudian
masuk Islam dan dengan Keislamannya, dia juga
masuk
surga.
Dalam
pembahasan ini, untuk menelusuri kebenaran keterlibatan Abu Hurairah dalam
perang Khaibar, kita tidak berbicara aspek eskatologi dari hadist Shahih
Bukhari di atas melainkan berbicara aspek historisitas ( kesejarahan )-nya yaitu “
debat
“ antara orang
dari Bani Sa’id bin Al-Ash dengan Abu
Hurairah yang terjadi dan terkait dengan pembagian harta rampasan perang
Khaibar.
Al
Waqidi ( hal.697 ) menerangkan bahwa : “
Rasulullah saw menunjuk Farwa bin ‘Amr
al- Bayadhi untuk mengurus harta perang perang Khaibar . Farwa mengumpulkan
hasil jarahan kaum Muslim di benteng-benteng Natha, Syiqq dan Katiba
“. Selanjutnya dikisahkan mengenai pembagian dan penjualan harta rampasan. Dan
pada saat itu Abu Hurairah dan rombongannya tiba. Al Waqidi bercerita , Kaum Daus tiba dan bersama mereka ada Abu
Hurairah, Thufail bin ‘Amr dan pengikut mereka serta kelompok orang Asyja’.
Rasulullah berbicara pada pengikutnya mengenai pembagian rampasan perang dengan
mereka. Mereka berkata : “ Baik ya Rasulullah “. Aban bin Sa’id bin ‘Ash melihat Abu Hurairah dan berkata : “ Tetapi tidak untukmu “. Abu Hurairah
berkata : “ Ya, Rasulullah, inilah pembunuh Ibnu Qauqal “. Aban bin Sa’id berkata : “ Betapa
aneh, untuk sehelai rambut biarlah jatuh pada kami melalui kedatangan seekor
domba , yang menghalangiku untuk tidak membunuh seorang Muslim yang dimuliakan
oleh Allah dengan tanganku dan tidak mempermalukan aku melalui tangan musuhku
“.
Terlihat
sepintas, kisah Abu Hurairah dalam Hadist Shahih Bukhari sama dengan yang
diriwayatkan Al Waqidi. Tetapi sebenarnya ada perbedaan. Dalam riwayat Al
Waqidi, munculnya perkataan Aban bin Sa’id bin ‘Ash, terlihat
seperti sinisme ( “ Tetapi tidak untukmu “ ) kepada Abu Hurairah beserta kelompok
rombongan Daus yang baru tiba di Khaibar saat harta rampasan akan dibagikan . Dengan
perkataan “ sinisme “ Aban
bin Sa’id bin ‘Ash yang demikian berarti dipastikan Abu Hurairah
beserta kelompok rombongan Daus tidak ikut terlibat dalam perang penaklukkan
Khaibar yang menghasil-kan harta perang yang
akan dan tengah dibagikan. Sedangkan riwayat dalam Hadist Shahih Bukhari bersumber
dari Abu Hurairah, munculnya perkataan “ sebagian orang dari Bani Sa’id bin Al-Ash “ ( riwayat Al Waqidi : Aban bin Sa’id bin ‘Ash )
: “ Jangan
berikan bagian untuk dia ya Rasulullah “
lantaran Abu Hurairah mengajukan permin- taan : “ Ya Rasulullah berikan aku bagian ( rampasan perang ) “ sekalipun mereka baru tiba di Khaibar dan tidak ikut
terlibat dalam penaklukan Khaibar ( penaklukan benteng-benteng Natha, Syiqq dan Katiba ).
Dalam
riwayat versi Al WAQIDI , jelas terungkap bahwa Abu Hurairah dan rombongan Daus
tidak terlibat dalam penaklukkan KATIBA, sebab jika benar Abu Hurairah dan rom-bongan
Daus terlibat dalam penaklukkan KATIBA lalu mengapa Aban bin Sa’id bin ‘Ash
berkata “sinis “ kepada Abu Hurairah
: “ Tetapi tidak untukmu “ ? Bukankah
peserta perang jihad harus dan pasti mendapatkan bagiannya atas harta rampasan
perang ? Ini yang dipahami Bani Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id bin Al Ash )
sehingga – dalam versi Al Waqidi - Aban bin Sa’id bin Al Ash berkata kepada Abu
Hurairah : “ Tetapi tidak untukmu “. Ketidak-terlibatan
Abu Hurairah dalam perang pengepungan KATIBA ter-angkat dalam paparan Al Waqidi
yaitu Farwa mengumpulkan hasil jarahan kaum Muslim di benteng-benteng Natha, Syiqq dan Katiba “ dan pada saat itu Abu Hurairah dan rombongannya tiba. Ini
berarti KATIBA telah ditaklukkan ketika Abu Hurairah dan rombongannya tiba di
Khaibar. Lalu bagaimana Abu Hurairah bisa berkata – menurut versi Al Waqidi - :
“ Kami melanjutkan perjalanan sampai ke
Khaibar dan kami menemukan bahwa beliau sudah menaklukkan NATHA dan sedang mengepung KATIBA
; kami bertempur terus sampai Allah
menaklukkannya untuk kami “ .
Dalam
versi Shahih Bukhari, ketika dalam kesempatan bertemu Rasulullah saw, Abu
Hurairah meminta bagian dari harta rampasan perang, yang disanggah oleh “ seseorang dari Bani Sa’id bin Al Ash “ (
Aban bin Sa’id bin Al Ash ) dengan berkata kepada Rasulullah saw : “Jangan berikan bagian untuk
dia ya Rasulullah “. Jika Abu Hurairah
dan rombongan Daus ikut dalam perang Khaibar – dalam penaklukkan KATIBA – tentu sangat
mengherankan jika Abu
Hurairah masih juga meminta
bagian rampasan perang Khaibar padahal setiap peserta perang Jihad dipastikan
memperoleh bagian setelah dikurangi 1/5 bagian untuk kemashlahatan ummat dan
da’wah Islam ( Allah dan Rasul-Nya – kerabat Rasul – Anak Yatim – Ibnus Sabil –
orang miskin ). Dan
juga meng-herankan sikap seseorang dari Bani Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id
bin Al Ash ) yang berkata kepada Rasulullah saw : “Jangan berikan bagian untuk dia ya Rasulullah “ ketika Abu Hurairah meminta bagian dari harta
rampasan perang Khaibar jika memang Abu Hurairah benar-benar terlibat dalam
perang Khaibar.
Dua
keadaan – Abu Hurairah meminta bagian harta rampasan perang Khaibar dan respon
seseorang dari Bani Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id bin Al Ash ) – yang
terlukis dalam hadist Shahih Bukahari, hanya menunjukkan bahwa sesungguhnya
Abu Hurairah tidak ikut perang Khaibar. Tegasnya , Abu Hurairah dan rombongan Daus sebenarnya tidak
pernah ikut perang Khaibar dan baru
berada di
Khaibar setelah
Khaibar ditakluk-kan. Namun
ketika bertemu Nabi saw, Abu Hurairah langsung meminta bagian dari harta
ghanimah Khaibar - tetapi disanggah Bani Sa’id
bin Al Ash (Aban bin Sa’id bin ‘Ash) - karena sadar bahwa dia dan teman-temannya tidak
berhak memperolehnya. Dan
akhirnya kita tahu motif kehadiran Abu Hurairah di Khaibar. Rupanya motif
ekonomi menjadi pendorong bagi Abu Hurairah untuk “ memaksa “ bertemu Rasulullah saw di Khaibar dan tidak bersabar
menunggunya di Madinah. Inilah yang diceritakan oleh hadist Abu Hurairah yang
dibahas.
Apakah Abu Hurairah
mendapatkan bagian dari harta rampasan perang Khaibar yang dimintanya? Baik Al
Waqidi ataupun Ibnu Hisyam tidak bercerita sama sekali, sehingga kita
ragu-ragu, apakah Abu Hurairah ada meminta harta rampasan perang Khaibar
tersebut bahkan ragu-ragu apakah Abu Hurairah benar-benar hadir di Khaibar ?
Menurut Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri dalam bukunya “ SHAHIH SIRAH NABAWIYAH “ ( hal. 343 ) , Abu Hurairah mendapatkan
bagian dari harta ghanimah perang Khaibar yang menjadi motif kunjungannya ke
Khaibar setelah direlakan oleh para peserta perang . Dr. Akram Dhiya’ Al Umuri menulis
:
…….. seperti Abu Hurairah ra dan sebagian orang dari
kabilah Al Dausi yang mendapatkan bagian
dari rampasan Perang Khaibar ketika mereka mendatangi Nabi saw setelah
perang usai dan mereka tidak ikut perang, karena orang-orang yang berhak
mendapatkannya merelakan hal tersebut .
Kalimat
“ Abu Hurairah ra dan sebagian orang dari
kabilah Al Dausi yang mendapatkan bagian dari rampasan Perang Khaibar …….
karena orang-orang yang berhak menda-patkannya merelakan hal tersebut “ menyiratkan
informasi yang tegas bahwa Abu Hurairah tidak terlibat dalam perang Khaibar.
Jika Abu Hurairah benar-benar terlibat dalam perang Khaibar, apakah untuk
mendapat harta rampasan perang Khaibar, Abu Hurairah membutuhkan “……. karena orang-orang yang berhak menda-patkannya
merelakan hal tersebut “ ? Kesimpulan yang diperoleh dari bahasan yang
disajikan adalah ABU HURAIRAH BARU TIBA
DI MADINAH DARI YAMAN PADA MALAM PENAKLUKKAN KHAIBAR, dan ABU HURAIRAH BUKAN
PESERTA PERANG PENAKLUKKAN KHAIBAR. Sekalipun demikian, Abu Hurairah dan
rombongan Daus-nya ketika berada di Khaibar tetap mendapatkan bagian dari harta
rampasan perang, bukan dalam kedudukan sebagai peserta perang ( - yang pasti mendapatkan bagiannya tanpa
meminta - ) melainkan mungkin sebagai sedekah atau semacamnya. Dengan
demikian, kesimpulan yang menyatakan ABU HURAIRAH IKUT SERTA PERANG PENAKLUKKAN
KHAIBAR sebagaimana yang dicerna dari hadist Shahih Muslim dan hadist Shahih
Bukhari , telah tertolak oleh aspek sejarah perang Khaibar itu sendiri.
Tegasnya kedua hadist shahih tersebut adalah hadist dha’if dari segi matan
walaupun shahih dari segi sanad.
TERBUNUHNYA
IBNU QAUQAL DALAM PERANG APA ?
Permasalahan kedua
dari hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya , yaitu sanggahan Abu
Hurairah atas Bani Sa’id bin Al Ash ( Aban bin Sa’id
bin Al Ash ) : “ Orang ini pembunuh Ibnu Qauqal “.
Berdasarkan
catatan sejarah yang telah disebutkan, Abu Hurairah baru tiba di Madinah dari
Yaman ( - pada masa berikutnya menjadi
komunitas Madinah, menjadi salah satu Ahlush Shuffah yang tidur di Masjid
Nabawi - ) pada malam penaklukkan Khaibar oleh Nabi saw dan pasukan Muslim.
Setelah beberapa saat di Madinah, Abu Hurairah berangkat ke Khaibar untuk
bertemu Rasulullah saw dan kemudian meminta bagian ghanimah perang Khaibar yang
tidak pernah diikutinya tetapi disanggah oleh Aban bin Sa’id bin Ash. Menyimak
isi sanggahan Abu Hurairah yang demikian
memberikan kepastian bahwa Abu Hurairah – sekalipun sebagai orang yang baru datang
dari Yaman dan tentu saja belum mengenal para sahabat Rasulullah saw, bahkan
baru melihat Rasulullah saw - mengenal Sa’id
bin Al Ash dan mengetahui persis
bagaimana terbunuhnya Ibnu Qauqal oleh putera Sa’id bin Al Ash dalam suatu
perang antara kaum Muslimin dengan kaum musyrik Quraisy. Perang tersebut haruslah perang yang terjadi sebelum
perang Khaibar. Hal ini memberikan legalitas sejarah
baginya untuk “ men-cerca
“ putera Sa’id bin Al-Ash yang ketika masih kafir
telah membunuh Ibnu Qauqal dalam perang yang entah apa
namanya. Tapi apakah benar demikian ? Dari
mana Abu Hurairah bisa mengenal putera Bani Sa’id bin Al Ash yang menyanggahnya
ketika ia ( Abu Hurairah ) meminta
bagian ghanimah kepada Rasulullah saw padahal Abu Hurairah baru datang ke
Madinah setelah hampir usai penaklukkan Khaibar ? Penegasan penulis dengan “ mengetahui
persis “ berarti
Abu Hurairah ikut serta mengambil bagian dalam
perang
yang terjadi antara kaum Muslimin dengan kafir Quraisy - di mana dalam
perang tersebut Ibnu
Qauqal memperoleh syahid , dibunuh oleh
Bani Sa’id bin Al Ash - sehingga Abu
Hurairah tahu betul tentang apa yang terjadi dalam perang yang terjadi termasuk
kesyahidan Ibnu Qauqal di tangan putera Sa’id bin Al Ash yang ketika itu masih
kafir . Ini berarti, ketika terjadi perang tersebut, sesungguh-nya Abu Hurairah telah
menjadi seorang Muslim sehingga
memungkinkan bisa terlibat dalam perang tersebut.
Tetapi kapan Abu Hurairah masuk Islam dan kapan terjadinya perang antara kaum
Muslimin dengan kaum musyrik Quraisy yang menyebabkan syahidnya Ibnu Qauqal
sehingga Abu Hurairah bisa menyanggah Bani Sa’id bin Al Ash dengan kata-kata :
“ Orang ini pembunuh Ibnu Qauqal “ ?. Sejumlah pertanyaan muncul melihat
kejanggalan-kejanggalan ini dan kita kesulitan menjawabnya.
Kita
bisa menelusuri perang yang terjadi. Sebelum terjadinya Perang Khaibar , telah terjadi
beberapa perang antara kaum Muslimin dengan kaum Musyrik Arab, baik dalam skala
besar ataupun skala kecil. Tetapi perang besar kaum Muslimin dengan kaun
musyrik Arab SEBELUM PERANG KHAIBAR yang menyebabkan syahidnya sejumlah kaum
Muslimin yang dapat dihubungkan dengan syahidnya IBNU QAUQAL cuma tiga perisiwa
yaitu PERANG BADAR, PERANG UHUD dan PERANG KHANDAQ. Tetapi tidak ada
diceritakan tentang syahidnya Ibnu Qauqal dalam ketiga perang tersebut. Al
Waqidi dalam bukunya “ AL MAGHAZI “, Ibnu Ishak dalam bukunya “ SIRAH IBNU
ISHAQ “ dan Ibnu Hisyam dalam bukunya “ SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM, begitu
pula Ibnu Qayyim dalam kitabnya ” ZADUL MA’AD “, tidak ada sama sekali menyebut syahidnya Ibnu
Qauqal. Kita mencoba menelusuri pada syahid menurut Ibnu Hisyam.
Ibnu Hisyam ( jilid I
, hal. 688 ) menyebut syuhada perang Badar dengan rincian sebagai berikut :
1. Dari Bani Abdul Muththalib bin Abdul Manaf , syahid
Ubaidah bin Al Harits bin Al Muththalib , dibunuh oleh Utbah bin Rabi’ah (
menurut Al Waqidi : dibunuh Syaiba bin Rabi’ah ).
2. Dari Bani Zuhrah bin Kilab , syahid :
a. Umair bin Abu Waqqash , saudara Sa’ad bin Abu Waqqash
(menurut Al Waqidi : dibunuh oleh ‘Amr bin ‘Abd ).
b. Dzu Asy Syimalain bin Abd Amr bin Nadhlah ( dalam
versi Al Waqidi tidak tersebut melainkan disebut : ‘Umair bin ‘Abd ‘Amr , yang
dibunuh oleh Abu Usamah al Jusyami ).
3. Dari Bani Adi bin Ka’ab bin Luai , syahid :
c. Aqil bin Al-Bujair , sekutu Bani Adi bin Ka’ab bin
Luai (menurut Al Waqidi : dibunuh oleh Malik bin Zuhair al- Jusyami ).
d. Mihya’, mantan budak Umar bin Khattab ( menurut Al
Waqidi : dibunuh oleh Amir bin Hadhrami )
4. Dari golongan ANSHAR , Bani Amr bin Auf , syahid
a. Sa’ad bin Khaitsamah ( versi Al Waqidi : dibunuh oleh
‘Amr bin ‘Abd , dan pendapat lain : dibunuh oleh ‘Tu’aima bin Adi )
b. Mubasysyir bin Abdul Mundzir bin Zanbar ( versi Al
Waqidi : dibunuh oleh Abu Tsaur )
5. Dari golongan ANSHAR , Bani Al Harits bin Al Khazraj ,
syahid : Yazid bin Al-Harits ( biasa dipanggil Ibnu Fushum ) ( versi Al Waqidi
: dibunuh oleh Naufal bin Mu’awiyah ad-Dili ).
6. Dari golongan ANSHAR , Bani Salimah , syahid : Umair
bin Al-Humam ( biasa dipanggil Ibnu Fushum ) ( versi Al Waqidi : dibunuh oleh
Khalid bin A’lam . Pendapat lainnya dipanah oleh Hibban bin ‘Ariqa lalu dibunuh
oleh Haritsa bin Suraqah )
7. Dari golongan ANSHAR , Bani Habib bin Abdu Haritsah bin
Malik , syahid : Rafi’ bin Al-Mu’alla .( versi Al Waqidi : dibunuh oleh Ikrimah
bin Abu Jahal )
8. Dari golongan ANSHAR , Bani An Najjar , syahid :
Haritsah bin Suraqah bin Al Harits. ( versi Al Waqidi : dipanah oleh Hibban
atau Ibnul ‘Ariqa dan mengenai tenggorokan hingga tewas )
9. Dari golongan ANSHAR , Bani Ghanm bin Malik bin
An-Najjar , syahid :
a. Auf bin Al Harits bin Rifa’ah bin Sawad
b. Muawwidz bin Al Harits bin Rifa’ah bin Sawad , saudara
Auf bin Al Harits bin Rifa’ah bin Sawad . ( Versi Al Waqidi , keduanya dibunuh
oleh Abu Jahal ).
Versi Al Waqidi
menyebut nama-nama syahid lainnya yang tidak tersebut dalam versi Ibnu Hisyam ,
yaitu :
1. ‘Ashim bin Tsabit bin Abil Aqlah yang dibunuh oleh
‘Amr bin Hadhrami.
2. Shafwan bin Baidha’ dari Bani Harits bin Fihr yang
dibunuh oleh Tu’aima bin ‘Adi.
Baik
versi Ibnu Hisyam maupun versi Al Waqidi menyebut keseluruhan syahid dari pihak
kaum Muslimin ada empat belas orang. Tidak disebut nama “ IBNU QAUQAL “ sebagai syahid dan juga tidak disebut “ putera
Bani Said bin Ash “ ( Aban bin
Said bin Ash ) yang membunuhnya baik dalam versi Ibnu Hisyam atau versi Al
Waqidi seperti yang disebutkan Abu Hurairah dan tercantum dalam Shahih Bukhari .
Begitu
pula kaum Muslimin yang syahid dalam perang Uhud apalagi dalam perang Khandaq ,
tidak disebut sama sekali dalam versi Ibnu Hisyam dan versi Al Waqidi mengenai nama “ IBNU QAUQAL “ yang syahid dan juga
tidak disebut “ putera Bani Said bin Ash “ ( Aban bin Said bin Ash ) yang membunuhnya. Fakta dalam kitab sejarah
kuno Islam yang demikian menunjukkan ketidak-cocokan riwayat Abu Hurairah dalam
Shahih Bukhari.
Juga
para penulis Sirah Nabawiyah abad modern antara lain seperti Muhammad Husain
Haikal dalam bukunya “ HAYATU MUHAMMAD “ dan Dr. Akram Dhiya’ Al-Umuri dalam
bukunya “ AS SIRAH AN NABAWIYAH ASH SHAHIHAH
“ serta beberapa kitab Sirah Nabi lainnya yang menjadi referensi tulisan
ini, sama sekali tidak menyinggung syahidnya Ibnu Qauqal di tangan putera Sa’id
bin Al Ash ( Aban bin Sa’id bin Al Ash ) sebagaimana yang dikatakan Abu
Hurairah. Mungkin dalam kitab-kitab Sirah lainnya seperti riwayat-riwayat dari
THABARI, dan IBN SA’AD dalam ATH THABAQATUL QUBRA –nya , dan riwayat-riwayat
dari penulis kuno sejarah Islam, ada mengisahkan syahidnya Ibnu Qauqal di
tangan putera Sa’id bin Al Ash. Dan sayangnya kitab-kitab tersebut belum
Penulis miliki. Jika ada tersebut misalnya dalam ATH THABAQATUL QUBRA dari IBN
SA’AD dan kitab-kitab Sejarawan Islam kuno lainnya, tetapi mengapa para penulis
Sirah Nabawiyah yang disebutkan terdahulu mengabaikan hadist Abu Hurairah di
atas sebagai “ CATATAN SEJARAH “ yang penting jika yang dikatakan Abu Hurairah
sebagai satu kebenaran sejarah ?. Diperlukan kajian kembali atas referensi ( sumber rujukan ) tulisan ini, mungkin
terliwat. Insya Allah jika ternyata ada, maka dengan kejujuran ilmiah, penulis
harus rujuk dari pernyataan di atas.
Selanjutnya kita
simak perang-perang lain selain ketiga “ PERANG BESAR “ yang berlangsung
sebelum PERANG KHAIBAR untuk menelusuri
kebenaran hadist Abu Hurairah tentang Ibnu Qauqal yang dibunuh Aban bin Sa’id
bin Ash. Perang-perang dimaksud yaitu PERANG QARQARAH AL KUDR – PERANG SAWIQ –
PERANG DZI AMAR – PERANG BAHRAAN –
PERANG AL QARADAH, semuanya terjadi pasca PERANG BADAR. Kisah-kisah yang
diceritakan tentang perang-perang tersebut memastikan tidak ada diceritakan terbunuhnya
Ibnu Qauqal sebagaimana terkisah dalam hadist Abu Hurairah. Begitu pula
perang-perang pasca PERANG UHUD seperti PERANG BADAR YANG DIJANJIKAN – PERANG
BANI MUSTHALIQ ( AL MURAISI’ ), semuanya tidak ada kisah terbunuhnya Ibnu
Qauqal oleh putera Sa’id bin Al Ash. Merujuk pada fakta yang demikian, disimpulkan
bahwa yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam hadistnya tersebut berisi informasi
sejarah yang tidak benar. Maka dari segi matan, sekali lagi harus dikatakan
kedua hadist shahih tersebut adalah hadist dha’if.
P E N U T U P
Demikian
permasalahan yang terangkat dari hadist Abu Hurairah, yang diriwayatkan dalam
SHAHIH MUSLIM dan SHAHIH BUKHARI terkait dengan PERANG KHAIBAR. Berangkat dari
pembahasan yang disajikan, kebenaran hadist riwayat Abu Hurairah tersebut
tentang keterlibatan Abu Hurairah dalam perang Khaibar, sangatlah diragukan. Abu Hurairah selaku sumber riwayat tidak
mengisahkan jalannya perang Khaibar tetapi mengedepankan kisah kehadirannya di
Khaibar yang telah ditaklukkan dan permintaan-nya untuk memperoleh ghanimah
perang Khaibar serta sanggah menyanggahnya dengan putera Bani Sa’id bin Al Ash
( Aban bin Sa’id bin Al Ash ). Tetapi sayangnya Imam Bukhari memasukkan hadist Abu
Hurairah dalam kumpulan hadist shahihnya lebih berfokus pada aspek eskatologis tentang
dua orang – Muslim dan Kafir - yang sama-sama masuk surga karena si Muslim
syahid oleh si Kafir dan si Kafir kemudian masuk Islam. Sedangkan kelemahan kandungan
dalam aspek kesejarahan dari pernyataan yang disajikan Abu Hurairah, diabaikan.
Sedangkan Imam Muslim memuat riwayat Abu Hurairah tersebut hanya dalam aspek
semangat perjuangan Islam dalam penegakan TAUHID, tanpa memperhatikan aspek
kesejarahan dari riwayat Abu Hurairah tersebut.
Tentu akan ada
apologi membela Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa keduanya tidak mungkin tidak
tahu kedha’ifan hadist-hadist yang dibicarakan lalu memasukkan hadist-hadist
yang dikatakan dha’if itu dalam kitab shahihnya. Pernyataan semacam ini hanya
terkait dengan sanad hadist tetapi menutup mata dari segi matan yang terkait
dengan kesejarahan. Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah manusia biasa, bukan
Tuhan, bukan Malaikat dan bukan Nabi. Sebagai manusia, tentu keduanya pasti
memiliki kelemahan dalam menalar hadist-hadist yang diterima karena berfokus
pada sanad hadist. Penelitian-penelitian modern menunjukkan sejumlah hadist
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah hadist yang lemah bahkan tidak
masuk akal dari segi matan hadist. Mematok Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai
yang tidak pernah salah dalam sajian hadist-hadist, sesungguhnya telah
menempatkan keduanya sebagai MANUSIA MA’SHUM, sekaligus telah MENUTUP PINTU
KAJIAN ATAS HADIST-HADIST BUKHARI-MUSLIM dan membiarkan diri menerima hadist
shahih Bukhari dan Muslim penuh pasrah
tanpa kritik seakan-akan Allah SWT tidak menganugerahi kita akal. Padahal akal
adalah aspek terpenting yang membedakan manusia dengan hewan.
1 komentar:
ijin copas ya gan, makasih
Posting Komentar